Walhi: Ancaman Pemerintah Keluar dari Kesepakatan Paris Tak Selaras Konstitusi
Berita

Walhi: Ancaman Pemerintah Keluar dari Kesepakatan Paris Tak Selaras Konstitusi

Padahal, Kesepakatan Paris sebagai salah satu instrumen untuk melihat berkontribusi pemerintah terhadap dampak perubahan iklim global.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Tanaman padi petani yang masih menghijau. Perubahan iklim bisa menyebabkan gagal panen. Ada konsep ganti rugi kepada petani. Foto ilustrasi: MYS
Tanaman padi petani yang masih menghijau. Perubahan iklim bisa menyebabkan gagal panen. Ada konsep ganti rugi kepada petani. Foto ilustrasi: MYS

Salah satu ancaman yang dihadapi masyarakat internasional yakni meningkatnya suhu rata-rata global atau perubahan iklim. Masalah ini sudah menjadi perhatian PBB, khususnya yang tergabung dalam Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

 

Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi PBB mengenai perubahan iklim atau dikenal dengan istilah Persetujuan Paris pada 22 April 2016 lalu di New York, Amerika Serikat. Namun beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, seperti diberitakan sejumlah media menyatakan pemerintah Indonesia mengancam keluar dari kesepakatan Paris.  

 

Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono mengingatkan tahun 2015 Presiden Joko Widodo berkomitmen mendukung dokumen Paris. Sebagai komitmen implementasi Persetujuan Paris, Presiden Joko Widodo menyatakan kontribusi Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen jika ada kerja sama internasional.

 

Yuyun juga mengingatkan pemerintah dan DPR telah menuangkan Persetujuan Paris ini melalui UU No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim. Ratifikasi ini dilakukan setahun setelah Presiden Joko Widodo menyatakan komitmennya mendukung Persetujuan Paris.

 

Dalam naskah akademik penyusunan RUU No.16 Tahun 2016 ini, Yuyun melihat alasan pemerintah terlibat dalam Persetujuan Paris ini karena amanat konstitusi. Indonesia sebagai negara kepulauan akan terkena dampak perubahan iklim, seperti abrasi di wilayah pesisir, dan pulau kecil terancam tenggelam.

 

“Ancaman pemerintah untuk keluar dari Persetujuan Paris berarti tidak sejalan dengan amanat konstitusi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (29/3/2019). Baca Juga: Mendesak Kesepakatan Global Penanganan Perubahan Iklim

 

Konsiderans UU No.16 Tahun 2016 menyebut tujuan nasional negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD RI yakni melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kemudian mengakui perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi merupakan ancaman yang semakin serius bagi umat manusia dan planet bumi, sehingga memerlukan kerja sama antar negara secara lebih efektif.

 

Dalam penjelasan umum UU No.16 Tahun 2016 menyebutkan pengendalian perubahan iklim merupakan amanat konstitusi bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

 

Yuyun berpendapat Indonesia tidak bisa keluar dari Persetujuan Paris tanpa ada keputusan Presiden dan Parlemen (DPR). Jika UU No.6 Tahun 2016 dicabut, maka rakyat Indonesia dirugikan karena tidak ada instrumen lain yang digunakan pemerintah untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka menyelamatkan rakyat Indonesia dari perubahan iklim.

 

Dia mengungkapkan salah satu negara yang keluar dari Persetujuan Paris yakni Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Presiden AS itu tercatat tidak pernah hadir dalam negosiasi perubahan iklim, tapi negara federal di AS menghadiri negosiasi itu bersama organisasi masyarakat sipil.

 

“Kepala negara federal di AS hadir dalam negosiasi itu karena malu terhadap kebijakan yang diambil Presiden Donald Trump,” bebernya.

 

Yuyun melihat Presiden Donald Trump keluar dari Persetujuan Paris karena membela industri Batubara. Sementara di Indonesia Yuyun menilai ada kepentingan industri sawit terkait ancaman pemerintah untuk keluar dari Persetujuan Paris. Padahal, alih fungsi hutan menjadi perkebunan seperti Sawit berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.

 

Beberapa waktu silam, parlemen Uni Eropa juga mengkritik industri sawit di Indonesia. Rekomendasi parlemen ini mendapat dukungan Komisi Uni Eropa dengan merevisi Delegated Acts. Revisi Delegated Acts yang dilakukan Komisi Uni Eropa, masih menurut Yuyun, intinya pemerintah Uni Eropa tidak lagi memberikan subsidi untuk biofuel. Selama ini Uni Eropa menggunakan 51 persen sawitnya untuk biofuel.

 

Sejak tahun 2007 Uni Eropa menggunakan biofuel sawit sebagai bagian dari upaya penggunaan sumber energi terbarukan dan pengurangan emisi. Kebijakan ini ternyata membuat ekspansi sawit di negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia semakin besar. Namun, ekspansi industri sawit ini menimbulkan berbagai masalah di masyarakat mulai dari pencaplokan lahan, sampai kebakaran lahan.

 

Bisa membentuk forum alternatif

Praktisi dan pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Dinna Wisnu, mengatakan Menteri Koordinator Bidang Kemartiman perlu mengecek posisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Luar Negeri sebelum keluar dari Persetujuan Paris. Dia mengingatkan antar kementerian dan lembaga pemerintahan seharusnya solid sebelum mengeluarkan ancaman itu, jangan sampai ada lembaga yang tidak dipertimbangkan masukannya.

 

Dinna mengakui Persetujuan Paris lebih banyak merugikan negara berkembang. Misalnya, larangan biofuel dari sawit, ini akan menyulitkan negara yang sumber energi terbarukannya masih dalam tahap pengembangan. Fungsi adaptasi dalam Persetujuan Paris juga kurang mendapat perhatian. Kemudian dananya minim, negara maju enggan memperhatikan bermacam persoalan ini.

 

Menurut Dinna, Indonesia punya potensi untuk membentuk forum alternatif yang berpihak pada lingkungan hidup yang menguntungkan negara berkembang. Indonesia bisa menyusun standar dasar proses pengurangan emisi karbon yang sesuai kondisi di negara berkembang. “Ini sebaiknya disiapkan untuk tandem (pilihan) dengan realisasi ancaman keluar dari Persetujuan Paris agar jelas di mata internasional. Jadi kita bukan sekedar ikut-ikutan AS,” sarannya ketika dihubungi, Senin (1/4/2019).

Tags:

Berita Terkait