Wajah RUU Prolegnas, Mementingkan Kuantitas dari Kualitas
Berita

Wajah RUU Prolegnas, Mementingkan Kuantitas dari Kualitas

​​​​​​​Model perencanaan legislasi DPR yang mementingkan kuantitas tersebut dinilai tak berubah dengan DPR periode sebelumnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES

Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang telah ditetapkan DPR. Sebanyak 248 RUU masuk dalam daftar Prolegnas periode 2020-2024 itu. Kendati jumlah 50 RUU yang masuk Prolegnas prioritas 2020 belum ditetapkan dalam paripurna, namun peneliti Formappi Lucius Karius menilai, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) ‘tancap gas’ melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang legislasi bersama pemerintah.

 

Rencananya, RUU Prolegnas prioritas 2020 bakal disahkan pada masa sidang kedua, yakni pertengahan Januari 2020 mendatang. “Prolegnas 2020-2024 dan prioritas 2020 masih mempertahankan watak DPR yang lebih terpesona dengan jumlah RUU daripada kualitas,” ujarnya kepada Hukumonline, Senin (23/12).

 

Jumlah tersebut, lanjut Lucius, tak jauh berbeda dengan DPR pada dua periode sebelumnya. Sebagaimana diketahui, jumlah daftar RUU Prolegnas 2020-2024 nyaris sama dengan periode 2010-2014 yang berjumlah 247 RUU. Padahal, jika melihat evaluasi kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 yang dilakukan Baleg pada 6 November lalu, salah satu poin rekomendasinya, DPR mesti menyusun Prolegnas yang sederhana, namun mementingkan kualitas. Untuk diketahui, Prolegnas DPR periode 2014-2019 berjumlah 189 RUU.

 

“Dengan jumlah prolegnas yang masih cukup banyak, DPR periode ini masih mengulangi model perencanaan legislasi yang buruk dari periode sebelumnya,” katanya.

 

Untuk daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024, DPR menjadi lembaga terbanyak pengusul RUU. Rinciannya, dari 248 RUU yang masuk daftar Prolegnas jangka panjang, usulan dari DPR sebanyak 120 RUU. Sedangkan pemerintah mengusulkan 44 RUU. Kemudian DPD mengusulkan 23 RUU. Sedangkan usulan bersama DPR dan pemerintah sebanyak 33 RUU. Usulan bersama DPR dan DPD sebanyak 19 RUU. Kemudian 1 RUU usulan bersama pemerintah dan DPD, dan 8 RUU usulan bersama DPR, pemerintah dan DPD.

 

Lebih lanjut Lucius berpendapat, banyaknya RUU dalam Prolegnas 200-2024 nampak tak sejalan dengan semangat omnibus law alias menyederhanakan perundangan dengan menggabungkan atau menghapus peraturan perundangan menjadi satu undang-undang. Sebaliknya dalam merencanakan prolegnas DPR dipandang lebih mengutamakan jumlah ketimbang mempertimbangkan konsep omnibus law.

 

Bagi Lucius, DPR hanya menunjukan ‘tancap gas’ dari aspek jumlah RUU tanpa mempertimbangkan rambu-rambu serta kinerja buruk legislasi pada periode sebelumnya. Pendek kata, jumlah RUU Prolegnas lima tahun dan target Prolegnas prioritas tahunan  masih jauh dari realistis. “Mulai dari segi kemampuan menyelesaikannya maupun kebutuhan yang sesuai dengan kepentingan rakyat serta program pemerintah,” ujarnya.

 

Sementara, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyorot soal tak ada kemajuan signifikan kinerja legislasi DPR pada periode sebelumnya. Menurutnya, target penuntasan 55 RUU Prolegnas 2019 pun jauh dari harapan yang hanya menghasilkan 12 RUU. Sedangkan dari 189 RUU RUU periode 2014-2019, DPR hanya mampu merampungkan 35 RUU menjadi UU  alias 18%.

 

Baca:

 

Selain itu, Fajri menyorot soal politik legislasi yang tidak terarah dan tak berpihak kepada masyarakat kecil. Sebaliknya, politik legislasi selama ini lebih berpihak kepada pemilik modal. Menurutnya, kinerja legislasi di awal 2020 bakal terfokus pada pembahasan paket RUU omnibus law. Setidaknya terdapat tiga judul RUU omnibus yang  masuk dalam daftar Prolegnas 2020–2024, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

 

Menurutnya, penggunaan pendekatan omnibus  law, serta pernyataan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menunjukkan adanya keinginan yang kuat untuk memperbaiki tumpang tindih regulasi serta beragam persoalan terkait pengelolaan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, ambisi pembenahan itu cenderung menggunakan perspektif yang sempit, yakni hanya sebatas tujuan memperbaiki iklim investasi.

 

“Pemilihan cara pandang itu dikhawatirkan banyak pihak akan mengorbankan sejumlah regulasi lain yang selama ini justru mengatur persoalan-persoalan mendasar, seperti hak asasi manusia, pelestarian lingkungan, antikorupsi, dan perlindungan terhadap masyarakat adat,” ujarnya dalam catatan akhir tahun PSHK pekan lalu.

 

Lebih lanjut Fajri berpandangan, pendekatan omnibus law dalam rangka penyederhanaan regulasi terkesan hanya kosmetik belaka. Pasalnya di sisi lain, banyaknya judul RUU yang diajukan pemerintah dan DPR dalam Prolegnas 2020–2024 menunjukkan cara pandang pemerintah dan DPR yang ingin mengatur segala persoalan dengan undang-undang.

 

“Kesungguhan pemerintah untuk membenahi manajemen reguasi secara komprehensif pun masih patut dipertanyakan mengingat janji Presiden Jokowi untuk membentuk badan tunggal regulasi hingga kini belum terwujud,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait