Wajah Baru Pengelolaan Proyek SBSN Pasca Perubahan PP 56/2011
Kolom

Wajah Baru Pengelolaan Proyek SBSN Pasca Perubahan PP 56/2011

Setidaknya terdapat dua respons cepat yang harus segera dilakukan pemerintah dalam konteks ini adalah Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka mengakomodir amanat perubahan PP 56/2011.

Bacaan 8 Menit
Mardiyanto. Foto:  Istimewa
Mardiyanto. Foto: Istimewa

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang dapat dimaknai sebagai surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Berdasarkan konsep tersebut yang dimaksud pengelolaan proyek SBSN merupakan serangkaian manajemen proyek yang dibiayai melalui penerbitan SBSN. Hal ini pun sejalan dengan tujuan diterbitkannya SBSN yakni untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek.

Proyek SBSN berkembang dengan signifikan di Indonesia, dimulai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara sebagai payung hukum perdana pengaturan SBSN di tanah air. Disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara sebagai landasan pendirian, organ, permodalan, fungsi, dan pertanggungjawaban Perusahaan Penerbit SBSN. Kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (PP 56/2011).

Selanjutnya pada tahun 2016 terbentuklah Komite Nasional Keuangan Syariah dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional dan mendorong percepatan pengembangan sektor keuangan syariah dengan memperkuat koordinasi, sinkronisasi dan sinergi antara otoritas, kementerian/lembaga, dan pemangku kepentingan lain di sektor keuangan syariah melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah.

Baca juga:

Selain regulasi di atas, Kementerian PPN/Kepala Bappenas mengeluarkan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Proyek Yang Dibiayai Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dengan ruang lingkup pengaturan berupa cakupan dan kriteria pembiayaan proyek SBSN, perencanaan proyek SBSN, dan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kinerja pelaksanaan proyek SBSN. Beberapa aspek ekonomi syariah seperti perbankan syariah, koperasi syariah, dan perjanjian syariah juga kembali diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Terakhir dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2023 tentang Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (PP 16/2023) yang mencabut PP 56/2011. Kehadiran PP 16/2023 menjadi tonggak baru sekaligus mereformasi tata kelola proyek SBSN. Hal itu juga menegaskan bahwa telah terjadi pembaharuan politik hukum (legal policy) pengelolaan proyek SBSN di Indonesia.

Perkembangan proyek SBSN di Indonesia

Menelisik perkembangan perekonomian domestik, khususnya sektor keuangan syariah. Kinerja sektor keuangan syariah terjaga positif hingga pertengahan 2022. Kondisi tersebut tercermin pada peningkatan total aset jasa keuangan syariah (tidak termasuk saham) per Juli 2022 yang mencapai angka Rp2.178,07 triliun atau tumbuh 14,19 persen (yoy). Perkembangan positif sektor perbankan syariah, pasar modal syariah dan industri keuangan non-bank (IKNB) syariah didukung oleh pemulihan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kualitas fungsi intermediasi perbankan termasuk ke sektor UMKM, peningkatan inovasi digital, serta meningkatnya literasi masyarakat terkait instrumen investasi termasuk SBSN. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam analisis kerangka ekonomi makro untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2023.

Proyek SBSN dapat dinilai sukses dalam mendanai pembangunan. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menegaskan bahwa sepanjang tahun 2013 sampai dengan tahun 2022, total pembiayaan proyek SBSN sebesar Rp175,38 triliun dengan 4.248 jumlah proyek SBSN yang tersebar di 34 Provinsi.

Proyek SBSN juga mengambil peran penting dalam Prioritas Nasional. Hal itu dinyatakan tegas dalam dokumen perencanaan nasional lima tahun yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pertama, proyek pengembangan pembiayaan proyek infrastruktur melalui penerbitan SBSN dengan skema investasi pemerintah. Proyek SBSN tersebut menjadi bagian dari Proyek Prioritas peningkatan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan pemerintah dan bagian dari Kegiatan Prioritas peningkatan pendalaman sektor keuangan, serta bagian dari Program Prioritas penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi.

Kedua, proyek sarana dan prasarana perguruan tinggi keagamaan Islam melalui SBSN dan proyek sarana dan prasarana madrasah yang diadakan melalui SBSN. Keduanya merupakan bagian Proyek Prioritas sarana dan prasarana pendidikan dan bagian dari Kegiatan Prioritas peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran, serta bagian dari Program Prioritas peningkatan pemerataan layanan pendidikan berkualitas.

Di dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional tahunan (Dokumen RKP 2023) yang merupakan penjabaran tahunan dari RPJMN 2020-2024, salah satu poin penting yang dijabarkan dalam spektrum perencanaan pembangunan nasional adalah strategi pendanaan pembangunan dengan menggunakan sumber pendanaan dalam APBN yang salah satunya adalah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang termasuk di dalamnya SBSN.

Pemanfaatan pembiayaan melalui penerbitan SBN akan difokuskan pada kegiatan penyediaan layanan umum dan layanan dasar pada berbagai prioritas, baik Prioritas Nasional yang pencapaian targetnya didukung oleh Proyek Prioritas Strategis (Major Project) serta beberapa fokus lainnya seperti penanganan pandemi Covid-l9, persiapan pemilu 2024, pembangunan Ibu Kota Nusantara, dan percepatan pemulihan ekonomi. Adapun penerbitan SBSN untuk pembiayaan proyek, sebagai bagian dari SBN, akan difokuskan pada pembangunan infrastruktur, penyediaan sarana pelayanan umum, dan pemberdayaan industri dalam negeri yang kegiatannya memiliki aset yang dapat digunakan sebagai jaminan (underlying).

Selanjutnya, penerbitan SBSN dapat digunakan untuk membiayai secara langsung Prioritas Nasional melalui pelaksanaan kegiatan Proyek Prioritas Strategis (Major Project). Salah satunya yaitu untuk pembiayaan proyek yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, di antaranya infrastruktur transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian serta infrastruktur sumber daya air. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk pelayanan umum, seperti sektor pendidikan dan agama, pertanian dan perkebunan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan konservasi sumber daya alam. Dengan demikian dapat dikatakan, SBSN merupakan sumber keuangan lain pembangunan yang mempunyai peran penting dalam pencapaian Prioritas Nasional 5 yakni “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar”.

Wajah Baru Pengelolaan Proyek SBSN

Pesatnya perkembangan pembangunan dan masifnya kontribusi sektor keuangan syariah dalam proses pembangunan tentu harus diikuti dengan regulasi yang mampu mengakomodir perkembangan praktik mutakhir dan perluasan pemanfaatan proyek SBSN. Sekurangnya terdapat lima alasan mendasar perubahan PP 56/2011.

Pertama, Proyek Prioritas dalam RPJMN 2020-2024 dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, BUMN, dan swasta/masyarakat. Hal itu kemudian diuraikan lebih konkret dalam Dokumen RKP 2023. Dinyatakan bahwa total kebutuhan investasi tahun 2023 mencapai 6.591,6-6.702,9 triliun. Dari total kebutuhan investasi tersebut investasi Pemerintah menyumbang 5,0-5,1% (329,4-341,3 triliun), investasi BUMN 6,7-7,8% (441,1-525,0 triliun), dan sisanya 88,3-87,1% (5.821,1-5.836,6 triliun) akan dipenuhi oleh investasi swasta. Kedua, melaksanakan pembangunan tanpa memberatkan APBN (below the line). Ketiga, memperoleh aset SBSN yang berkualitas. Keempat, penguatan penilaian proyek SBSN agar mempunyai daya ungkit tinggi (leveraging) terhadap pencapaian Prioritas Nasional. Kelima, mempertajam mitigasi risiko proyek SBSN.

Pada April 2023, Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara melakukan pengundangan terhadap PP 16/2023. Perubahan terhadap PP 56/2011 ini membuat terjadinya pergeseran dalam hal cara mengelola proyek SBSN. Terbitnya PP 16/2023 tentunya memberikan dampak signifikan terhadap tata kelola SBSN dewasa ini. Dampak perluasan pemanfaatan SBSN sebagai sumber pembiayaan proyek pembangunan telah memberikan makna positif terhadap ekosistem perencanaan pembangunan nasional. PP 16/2023 menjadikan alokasi anggaran pada prioritas lebih terjaga karena SBSN sebagai sumber pembiayaan relatif lebih aman apabila terjadi refocusing dan realokasi anggaran. Selain itu, kesiapan proyek pembangunan menjadi lebih baik, hal itu dikarenakan kriteria kesiapan (readiness criteria) dan pengendalian menjadi lebih detail dan jelas.

Adapun wajah baru pengelolaan proyek SBSN pasca perubahan PP 56/2011 dapat dirangkum menjadi tiga poin pokok. Pertama, berkenaan dengan perluasan pemanfaatan proyek SBSN. Kondisi existing sebelumnya, pembiayaan proyek SBSN hanya untuk proyek yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Kemudian diperluas pemanfaatan proyek SBSN sehingga pelaksanaan dan aset proyek SBSN dapat diterima oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, dan BUMN (Pasal 5 PP 16/2023). Dalam hal tata kelola perluasan pemanfaatan proyek SBSN melibatkan instansi pengusul proyek SBSN (kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah/BUMD, dan BUMN), Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN. Lebih lanjut untuk perluasan pemanfaatan proyek SBSN oleh Pemerintah Daerah/BUMD dan BUMN diarahkan untuk menggunakan pendanaan “below the line” melalui penerusan pinjaman dengan mekanisme pinjaman daerah, pinjaman kepada BUMN, dan investasi pemerintah (Pasal 25 PP 16/2023).

Poin pokok kedua berkenaan dengan pembagian kewenangan (division of powers) pengelolaan proyek SBSN antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN. Kementerian PPN/Bappenas berwenang menentukan prioritas proyek, menerima usulan proyek, menyeleksi proyek, menetapkan prioritas proyek, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek pembangunan fisik), dan memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa. Kementerian Keuangan berwenang menyusun Batas Maksimal Penerbitan (BMP) proyek, menerbitkan SBSN, membayar kontrak proyek, manatausahaan penerusan proyek, menetapkan penerusan proyek, menganggarkan proyek, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek pendanaan), memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa, dan mencatatkan aset. Kementerian Dalam Negeri berwenang memberikan rekomendasi penerusan proyek kepada pemerintah daerah, memonitoring dan mengevaluasi proyek (aspek penarikan, penggunaan, dan pembayaran kembali penerusan proyek), dan memberikan rekomendasi percepatan pelaksanaan proyek kepada pemrakarsa. Kementerian BUMN berwenang memberikan rekomendasi penerusan proyek kepada BUMN.

Poin pokok ketiga berkenaan dengan upaya mempertajam mitigasi risiko proyek SBSN. Hal itu dilaksanakan dengan maksud agar proyek SBSN tidak menambah defisit APBN. PP 16 /2023 memberikan kewenangan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dalam melakukan penilaian kelayakan Proyek agar mempertimbangkan: (Pasal 20 PP 16/2023)

  • aspek strategis dan urgensi dari usulan proyek SBSN, keselarasan proyek SBSN dengan prioritas pembangunan nasional pada RPJMN dan/atau RKP;
  • tata ke1ola opini hukum dan kepatuhan, kelayakan teknis, ekonomis, finansial, sosial dan lingkungan, serta kesiapan teknis pelaksanaan proyek SBSN;
  • profil risiko dan mitigasi risiko proyek SBSN;
  • batas maksimal penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek SBSN yang ditentukan oleh Menteri Keuangan; dan
  • kesesuaian proyek SBSN dengan prinsip syariah.

Ditegaskan lebih lanjut bahwa terhadap proyek penerusan SBSN, profil risiko dan mitigasi risiko proyek SBSN minimal memuat risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai mata uang, risiko hukum, risiko strategis, risiko reputasi, dan risiko syariah.

Perspektif Hukum Perencanaan Pembangunan Nasional

Dari perspektif hukum perencanaan pembangunan nasional pengundangan PP 16/2023 telah melahirkan tanggung jawab sekaligus kewajiban hukum kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Menurut hemat Penulis, setidaknya terdapat dua respons cepat yang harus segera dilakukan pemerintah dalam konteks ini adalah Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka mengakomodir amanat perubahan PP 56/2011. 

Respon pertama dengan merevisi Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Proyek Yang Dibiayai Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara. Selain dalam rangka melaksanakan amanat langsung dan tidak langsung ketentuan PP 16/2023, revisi tersebut juga untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan mengenai tata cara pengelolaan proyek yang dibiayai melalui penerbitan SBSN pada PP 16/2023 yang masih bersifat general agar dapat operasional dengan diatur lebih teknis dan rinci dalam sebuah Peraturan Menteri.

Respon kedua, berkenaan penajaman mitigasi risiko proyek SBSN sebagaimana dijelaskan di atas, Kementerian PPN/Bappenas perlu membentuk unit independen yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menata dan mengelola risiko (governance, risk, and compliance) proyek SBSN. Sebagaimana kita ketahui bersama, sudah seharusnya risiko proyek SBSN dikelola sejak fase awal. Ada 5 (lima) langkah dasar yang harus diambil untuk mengelola risiko proyek SBSN. Dimulai dari mengidentifikasi risiko (risk identification), menganalisis risiko (risk analysis), kemudian penilaian risiko dan solusi yang diterapkan (risk response), dan terakhir pemantauan dan kontrol risiko (risk monitoring and control). Dengan adanya unit independen governance, risk, and compliance proyek SBSN diharapkan dapat tercipta efektifitas pelaksanaan perencanaan, penatausahaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan kinerja proyek yang dibiayai melalui penerbitan SBSN.

Kira-kira bagaimana pemerintah mengambil langkah selanjutnya? Entahlah, namun semua berharap bahwa arah kebijakan yang diambil berujung pada upaya menumbuhkembangkan sektor ekonomi dan keuangan syariah melalui pemutakhiran tata kelola proyek SBSN sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

*)Mardiyanto, S.H., M.H., Tenaga Ahli Hukum dan Kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas, Dosen Hukum Tata Negara IBLAM School of Law, Advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait