Wadahi Kriminalisasi, UU Perkebunan Dibawa ke Mahkamah Konstitusi
Berita

Wadahi Kriminalisasi, UU Perkebunan Dibawa ke Mahkamah Konstitusi

Lebih banyak mudarat ketimbang manfaat bagi pemenuhan hak asasi masyarakat.

Inu
Bacaan 2 Menit
Wadahi Kriminalisasi, UU Perkebunan Dibawa ke Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Sulit menutup mata, kekerasan gampang meletup antara penduduk dengan pengusaha perkebunan. Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nurcholis ketika dihubungi, Jumat (06/8) menyebutkan Komnas menerima banyak pengaduan tentang dugaan pelanggaran HAM terkait konflik lahan dari seluruh provinsi. “Terjadi sejak Orde Baru yang tidak terselesaikan hingga kini. Lalu ditambah maraknya penggusuran, diantaranya pembukaan lahan perkebunan baru semasa reformasi, ujarnya.

 

Mengutip siaran pers Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHSC), pertengahan Juli 2010, tindakan pelanggaran HAM terhadap petani dalam sengketa pertanahan cukup tinggi. IHSC, melalui siaran pers yang diteken Sekretaris Jenderal LSM itu, Gunawan, menguraikan dari 4.000 kasus pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM sejak 2009, sebanyak 62 persen atau 3.000 di antaranya terjadi pada konflik agraria dan lingkungan hidup. “Beberapa aktivis petani ada yang dibunuh,” sebut Gunawan.

 

Tengok juga catatan Sawit Watch. Lembaga yang khusus memantau perkembangan perkebunan kelapa sawit ini mencatat, selama paruh pertama tahun 2010 sudah ada 108 petani ditangkap terkait sengketa lahan. “Satu diantaranya tewas tertembak oleh penegak hukum. Namun hingga kini tak jelas penyelesainnya,” tandas Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego Tarigan ketika ditemui dalam acara deklarasi Jaringan Pengacara Pembela Kepentingan Publik (Public Interest Lawyer Network/PIL-Net), di Jakarta, Kamis (05/8).

 

Menurut dia, represivitas penanganan sengketa lahan oleh penegak hukum dimungkinkan menurut Pasal 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. “Pasal itu menyiratkan setiap kegiatan yang mengganggu aktivitas perkebunan adalah tindakan kriminal,” terang Abetnego.

 

Pasal 21 UU No 14 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

 

Catatan Sawit Watch, ada 630 kasus sengketa terkait pembukaan dan perluasan lahan sawit yang tak berujung hingga kini. Karena itu, dia bersama PIL-Net akan mendampingi masyarakat untuk mendaftarkan sekaligus menjadi pengacara judicial review pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada sekitar September 2010. Alasan utama mereka, pasal itu meredam masyarakat memperjuangkan hak mereka.

 

Rencana tersebut, ujar Abetnego, sekaligus untuk mengingatkan pemerintah akan kebijakan yang mengeksploitasi sumber daya alam tanpa perencanaan matang. Bahkan pemerintah cenderung menggunakan hukum untuk memberi perlindungan pada investasi besar.

 

Dia mencontohkan, beberapa pemerintah daerah begitu mudah memberikan izin prinsip penggunaan lahan guna ditanami sawit. Namun, izin ini tidak memiliki kekuatan hukum bagi investor untuk beroperasi karena harus lebih dulu mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Tetapi, investor dengan mudahnya menyingkirkan rakyat setempat. Namun, sewaktu meminta hak masyarakat dikembalikan, investor membenturkan rakyat dengan penegak hukum dan berujung pada konflik.

 

Menurut salah satu deklarator PIL-Net, Dadang Trisasongko, konflik melahirkan korban. Baik jiwa maupun harta. Pengusaha pun harus rela mengeluarkan dana besar untuk menuntaskan sengketa lahan.

 

Komnas Dukung

Menanggapi rencana judicial review UU Perkebunan, Nurcholis menyatakan Komnas HAM menyetujui dan siap membantu. “Kalau dibiarkan tak ada kepastian hukum, masyarakat terus menjadi korban,” ungkapnya.

 

Nurcholis yakin Komnas HAM akan menjadi pihak yang harus didengar pendapatnya di MK untuk pengujian UU terhadap UUD 1945 itu.

 

Sedangkan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto  melalui pesan singkat yang diterima redaksi menanggapi rencana PIL-Net menyanggah UU Perkebunan memberikan ruang kriminalisasi. “Masyarakat setempat diakui keberadaannya dan tidak dapat dikriminalisasi, sesuai pasal 28 huruf F dan G UUD 1945,” pungkasnya.

Tags: