Wadah Tunggal Organisasi Advokat untuk Kepentingan Pencari Keadilan
Pojok PERADI

Wadah Tunggal Organisasi Advokat untuk Kepentingan Pencari Keadilan

Mahkamah diminta melihat kembali semua putusan yang pernah dibuatnya terkait frasa “organisasi advokat” bahwa Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang mengemban tugas dan kewenangan sesuai UU Advokat.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan saat memberi kesaksian di sidang lanjutan pengujian UU Advokat , Rabu (31/10). Foto : Humas MK
Mantan Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan saat memberi kesaksian di sidang lanjutan pengujian UU Advokat , Rabu (31/10). Foto : Humas MK

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar uji materi terkait frasa “organisasi advokat” yang termuat di 20 pasal UU No. 18  Tahun 2003 tentang Advokat. Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan ahli Muhammad Arif Setiawan dan saksi Otto Hasibuan dan Subrata yang diajukan Pemohon. Selain itu, didengar pula keterangan pihak terkait dalam hal ini, Mahkamah Agung (MA) yang diwakili Hakim Yustisial Jimmy Maruli.

 

Permohonan ini diajukan Bahrul Ilmi Yakup, Shalih Mangara Sitompul, Gunadi Handoko, Rynaldo P. Batubara, Ismail Nganggon yang merupakan para advokat yang tergabung Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Iwan Kurniawan yang merupakan calon advokat. Mereka meminta organisasi advokat yang menjalankan kewenangan dalam UU Advokat seharusnya hanya satu organisasi advokat agar ada kepastian hukum, dalam hal ini Peradi.

 

Dalam keterangannya, Otto Hasibuan menilai masih diperlukannya wadah tunggal organisasi advokat, bukan untuk kepentingan advokat, tetapi untuk kepentingan pencari keadilan. “Para organisasi advokat lain, janganlah berpikir kepentingan sendiri dan anggota pengurus organisasinya, tetapi kepentingan para pencari keadilan yang menjadi korban akibat banyaknya organisasi advokat,” ujar Otto Hasibuan di ruang sidang MK, Rabu (31/10/2018).

 

Menurutnya, tidak adanya wadah tunggal organisasi advokat berakibat belum adanya sistem ujian advokat terstandardisasi dengan baik; adanya advokat yang berusaha memeras para pencari keadilan demi memperoleh uang; dan advokat tidak jujur kepada kliennya demi mendapatkan keuntungan.

 

“Maka dari itu, perlu kesadaran dari para organisasi advokat lain untuk membangun satu sistem dengan wadah tunggal organisasi advokat yakni Peradi,” ujar mantan Ketua Umum Peradi ini.

 

Menurutnya, saat DPR mengesahkan UU Advokat dan awal terbentuknya peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat dengan sistem singlebar, tidak ada yang keberatan. Bahkan, seluruh dunia organisasi advokatnya berbentuk singlebar, salah satunya di Belanda. “Sistem singlebar ini telah teruji dan memberi kepastian, salah satunya dalam hal pendidikan yang baik bagi advokat,” jelasnya.

 

Otto mengakui dibolehkannya organisasi advokat lebih dari satu disebabkan oleh putusan MK dan Surat Edaran MA (SK KMA) No. 73/KMA/HK.01/IX/2015. Padahal, pada masa kepemimpinan Ketua MA Harifin A Tumpa, melalui surat edarannya disebutkan bahwa organisasi advokat yang diperbolehkan untuk melakukan penyumpahan hanyalah Peradi,” kata dia mengingatkan.

 

Saat ditanya faktanya saat ini Peradi bukanlah lagi wadah tunggal, tetapi terpecah menjadi tiga Peradi yakni Peradi Fauzie Yusuf Hasibuan, Peradi Luhut MP Pangaribuan; dan Peradi Juniver Girsang, Otto berdalih bPeradi selama ini hanyalah satu, tetapi pengurusnya saja yang ada tiga.

 

“Jika memang Peradi benar-benar menjadi wadah tunggal, maka saya rasa ketiga Peradi ini nantinya akan berdamai. Sehingga, Peradi menjadi wadah tunggal,” harapnya. (Baca Juga: Cerita Otto Hasibuan Soal Sejarah Peradi Hingga Munas Makassar)

 

Sejak awal singlebar

Ahli Pemohon, Muhammad Arif Setiawan mengingatkan Peradi didirikan oleh 8 organisasi advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), berdasarkan amanat UU Advokat.

 

“Peradi sah menurut hukum untuk menyelenggarakan kewenangan yang diberikan negara. Sehingga, organisasi di luar Peradi bersifat inkonsistusional karena UU Advokat sejak awal memilih sistem singlebar,” kata dia. (Baca Juga: Beragam Pandangan Tolak Peradi Sebagai Wadah Tunggal)

 

Dalam kesempatan ini, ia meminta kepada Mahkamah untuk mengumpulkan dan melihat kembali semua putusan terkait frasa “organisasi advokat” bahwa Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang mengemban tugas dan kewenangan sesuai UU Advokat. “Ini untuk menghentikan multitafsir terhadap frasa ‘organisasi advokat’,” harapnya.

 

Sementara Jimmy Maruli menjelaskan keluarnya SK KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 disebabkan adanya amanat konstitusi dan regulasi. Ia menyebut Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan advokat wajib disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya dan adanya putusan MK No. 101/PUU-VII/2009 yang memerintahkan PT wajib mengambil sumpah advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengkaitkan keanggotaan organisasi advokat.

 

“Karena beberapa daerah, tenaga advokat sangat kurang dan banyak advokat yang belum diambil sumpahnya yang berakibat tidak bisa beracara di pengadilan. Sedangkan para pencari keadilan sangat membutuhkan jasa advokat, maka lahirlah SK KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015.”

 

Jimmy mengakui sebelumnya pernah ada SK KMA No. 089/KMA/VI/2010 yang ditujukan ketua PT seluruh Indonesia untuk dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat yang diusulkan oleh Peradi. Namun, beberapa tahun kemudian, terbit putusan MK No. 112/PUU-XII/2014, No. 36/PUU-XIII/2015 yang amarnya memperkenankan PT mengambil sumpah advokat tanpa mempermasalahkan asal keanggotaan organisasi advokat.

 

“Karena itu, adanya SK KMA itu sesungguhnya MA dan MK berada dalam satu pemikiran agar polarisasi keadilan bagi masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak menghalang-halangi hak konstitusional para advokat,” katanya.

 

Sebelumnya, Para pemohon mempersoalkan frasa “organisasi advokat” dalam Pasal 1 ayat (4); Pasal 2 ayat (1); Pasal 3 ayat (1) huruf f; Pasal 4 ayat (3); Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 9 ayat (1); Pasal 10 ayat (1) huruf c; Pasal 11; Pasal 12 ayat (1); Pasal 13 ayat (1) dan (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (7); Pasal 27 ayat (1), (3) dan (5); Pasal 28 ayat (1), (2) dan (3); Pasal 29 ayat (1), (2),(4) dan (5); Pasal 30 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) dan (4); Pasal 33; dan penjelasan Pasal 3 huruf f dan Pasal 5 ayat (2) UU Advokat.  

 

Para Pemohon menilai frasa “organisasi advokat” telah dimanipulasi oleh berbagai pihak. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai organisasi advokat yang mengklaim seolah-olah sah dan berwenang menjalankan organisasi advokat sesuai UU Advokat. Seperti menyelenggarakan pendidikan calon advokat, mengangkat advokat, permohonan pengambilan sumpah advokat, merekrut anggota, pengawasan, dan menjatuhkan sanksi etik kepada advokat. Hal ini jelas tidak benar dan tidak berdasar secara konstitusional.

 

Karenanya, Mahkamah diminta mengabulkan permohonan ini dengan menyatakan frasa “organisasi advokat” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai Peradi merupakan satu-satunya organisasi profesi advokat yang berwenang melaksanakan UU Advokat. Namun, organisasi advokat yang tidak melaksanakan wewenang dalam UU Advokat, boleh banyak.  

Tags:

Berita Terkait