Wadah Tunggal Organisasi Advokat Sudah Tidak Realistis
Kolom

Wadah Tunggal Organisasi Advokat Sudah Tidak Realistis

Dengan sistem multibar ini, ada persaingan sehat yang kompetitif di mana organisasi yang dikelola secara profesional dan demokratis saja yang dapat eksis dan tumbuh secara sehat.

Bacaan 2 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Ketentuan multitafsir di dalam UU Advokat merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional advokat dalam menjalankan profesinya. Hal tersebut telah menjadi sumber perseteruan antar organisasi advokat selama puluhan tahun hingga detik ini dan telah membawa kerugian tidak hanya kepada para advokat saja, tetapi juga terhadap para pencari keadilan (justitiabelen) dan terhadap upaya penegakan hukum secara keseluruhan bagi masyarakat.

 

Sebelumnya pada tahun 2010, sekelompok advokat yang terdiri dari penulis sendiri, (Alm) Bob P. Nainggolan, Maruli Simorangkir, Murad Harahap, Lelyana Santosa, Nursyahbani Katjasungkana, David Abraham, Firman Wijaya, dan SF. Marbun, telah berjuang melalui permohonan Uji Materiil (materiële toetsingrecht) ketentuan UU Advokat terhadap batu uji UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi RI, dengan nomor registerasi perkara No. 66/PUU-VIII/2010 (“Perkara Nomor 66”).

 

Permohonan uji materiil ini ini mempersoalkan banyak hal terkait profesi advokat, dimulai dari hak berserikat advokat, sebagai hak khusus dari profesi bebas (free legal profession) advokat yang berbeda dengan penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim yang tidak boleh dibatasi kecuali oleh keputusan para advokat itu sendiri melalui kongres advokat yang demokratis, sampai dengan ketentuan multitafsir UU Advokat yang pada faktanya tidak menyebutkan secara spesifik Indonesia hanya memiliki satu organisasi advokat.

 

Khusus terkait bentuk wadah tunggal, jika mempelajari sejarah organisasi profesi advokat di Indonesia yang secara mendalam, maka dapat ditarik kesimpulan di mana konsep wadah tunggal memang tidak pernah sesuai diterapkan di negara ini, karena secara alamiah (naturally created condition) sejak tahun 1960-an organisasi advokat di Indonesia menganut multi bar association. Konsep wadah tunggal pertama kali dicetuskan oleh Menteri Kehakiman Ali Said diakhir tahun 1970-an di hadapan Ketua Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) waktu itu Suardi Tasrif.

 

Meskipun begitu pemaksaan ide wadah tunggal serentak ditentang oleh seluruh advokat PERADIN dan bertentangan dengan aspirasi advokat Indonesia kala itu, mengingat secara historis organisasi advokat sejak dulu memang multi bar. Hal tersebut karena ide apapun mengenai advokat harus datang dari bawah (bottom-up) melalui Kongres Advokat dan harus dilakukan secara demokratis (one man one vote).

 

Pemerintah Orba menginginkan masing-masing profesi hanya memiliki satu organsiasi seperti organisasi buruh, wartawan, advokat, dan lain-lain agar mudah diawasi dan dikontrol. Tentunya ini bertentangan dengan hak berserikat yang dijamin dalam Pasal 28e ayat (3) UUD 1945 dan khususnya hak berserikat advokat yang secara lex spesialis diatur dalam tiga instrumen internasional. Jadi, wadah tunggal organisasi advokat itu dibuat dengan tanpa persetujuan seluruh advokat kala itu.

 

Pasal 28 ayat (1) UU Advokat itu sendiri bersifat multitafsir yang dapat ditafsirkan sebagai wadah tunggal (single bar association) atau sebagai federasi (federation of bar association). Ketidakjelasan rumusan “organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi” ini telah menyebabkanisu konstitusionalitas UU Advokat, khususnya Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan menjadi isu untuk dikaji secara materiil oleh Mahkamah Konstitusi c.q. Pasal 28D UUD 1945 karena negara wajib menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid/ legal certainty).

 

Bentuk Wadah Tunggal Gagal dan Usang

Dalam sistem hukum progresif, undang-undang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dinamis dimana sudah terbukti sejak puluhan tahun lalu sistem single bar association gagal total. Pecahnya PERADI menjadi 3 kelompok menjadi bukti nyata gagalnya sistem single bar association karena secara historis Indonesia mempunyai berbagai organisasi advokat setelah kemerdekaan 1945. Pengelolaan keuangan yang tidak transparan dan pemilihan ketua umum yang tidak demokratis mengakibatkan terpecahnya organisasi yang dikelola secara komersial belaka dan tidak profesional tanpa mendengarkan aspirasi dari bawah dan otoriter.

 

Hingga tahun 2020, PERADI tidak dapat bersatu lagi seperti sedia kala, karena berbagai macam benturan kepentingan dan sifat alamidari keberadaan organisasi advokat itu sendiri, yaitu multibar, di mana para advokat secara alamiah bebas menentukan pilihan hendak berada di organisasi advokat mana dirinya berada. Tentu tidak masalah jika nantinya pendidikan advokat dan kode etik advokat diatur oleh suatu badan khusus yang ditunjuk oleh pemerintah RI. Kemudian pendidikan dan ujian advokat jangan sampai dikomersialkan lagi dan organisasi profesi advokat harus hidup dari iuran anggota sesuai dengan kaidah universal profesi advokat dan bukan hidup dari uang kursus atau pelatihan advokat dan pelantikan advokat.

 

Dengan sistem multibar ini, ada persaingan sehat yang kompetitif di mana organisasi yang dikelola secara profesional dan demokratis saja yang dapat eksis dan tumbuh secara sehat. Sistem pelatihan dan ujian yang baik dapat mendorong suatu organisasi menjadi sukses dalam menjalankan fungsinya dengan mengajak pemerintah c.q Kementerian Hukum dan HAM RI. Saat ini jumlah organisasi advokat di Indonesia juga lebih dari 20 organisasi advokat, jadi tidak mungkin dipaksakan dinaungi oleh satu organisasi advokat yang bahkan pernah gagal dalam mempertahankan ide wadah tunggal itu sendiri.

 

Dengan sistem hukum yang progresif, UU Advokat harus diubah dan sistem multibar association harus segera disahkan karena sistem single bar association tidak sesuai lagi dengan fakta bahwa apa yang diatur dalam UU Advokat tidak sesuai lagi dengan kenyataan, selain juga bertentangan dengan UUD 1945 dan suasana kebatinan advokat Indonesia pada umumnya. Klaim wadah tunggal adalah ilusi yang bertentangan secara faktual dengan adanya belasan organisasi advokat yang menjalankan aktivitasnya masing-masing dan memiliki anggota yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Boleh dikata sistem single bar association tidak cocok bagi organisasi advokat di Republik Indonesia dan sudah merupakan “wishful thinking” yang tidak mempunyai dasar konseptual lagi.

 

Semoga tulisan ini dapat menjadikan terang tentang profesi advokat yang penuh perseteruan karena tidak dikelola secara demokratis dan profesional. Sehingga akhirnya hak berserikat advokat terjamin dan dihormati serta perseteruan yang terjadi selama ini dapat diatasi dengan melalui cara-cara konstitusional. Diharapkan di kemudian hari, para advokat muda yang terganggu dalam praktiknya dapat tenang memupuk karir dan berfungsi secara efisien dalam suasana yang demokratis dan kondusif. Hak berserikat tentang bagaimana bentuk bar association yang diinginkan, apakah single bar, federation of bar asociation, atau multi bar association itu harus ditentukan oleh para advokat sendiri dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk Negara melalui UU Advokat.

 

Amandemen UU Advokat bisa dirujuk pada konvensi-konvensi internasional PBB (UN Code of Conduct of Law Enforcement Officials) dan IBA (IBA Standard for The Independence of the Legal Profession) sehingga pada akhirnya Indonesia memiliki organisasi advokat yang kuat dan berwibawa, mandiri dan independen, tanpa adanya persaingan tidak sehat, memberi kesempatan pada advokat muda dan menjunjung tinggi demorasi, serta menanggalkan egoisme pribadi dan kelompok. Pada akhirnya, sudah saatnya advokat menentukan sendiri nasib profesi advokat di negara ini.

 

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta, SH., MH., adalah Anggota Dewan Penyantun YLBHI, mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional RI.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait