Wacana Penggunaan TNI sebagai Penyidik KPK Perlu Dikaji Mendalam
Berita

Wacana Penggunaan TNI sebagai Penyidik KPK Perlu Dikaji Mendalam

Menyelesaikan masalah dengan cara instan justru akan berpotensi melahirkan masalah baru.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Nasir Djamil. Foto: Sgp
Nasir Djamil. Foto: Sgp
Wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil tenaga penyidik dari personil TNI dinilai berlebihan. Penyidik yang digunakan keterampilan dan kemampuannya  tetap berasal dari institusi kepolisian. Hal itu pula agar tidak memicu persoalan baru dalam penegakan hukum. Selain itu, perlunya dilakukan kajian mendalam. 

“Itu teknis, tapi agar kepolisian dan kejaksaan dapat harmonis dengan KPK maka akan bagus. Selain itu harus dilakukan kajian mendalam” ujar Ketua MPR Zulkifli Hasan akhir pekan lalu.

Wakil Ketua Komisi III Mulfahri Harahap berpandangan, selain melakukan kajian mendalam, perlunya melihat berbagai peraturan perundangan terkait penggunaan tenaga TNI sebagai penyidik. Menurutnya, dalam perundangan sudah mengatur kewenangan penyidik itu Polri dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS).

“Selain itu belum ada aturan lain tentang lembaga yang diberikan penyidikan untuk penegakan hukum,” katanya.

Mulfahri memahami TNI diberikan kewenangan penyidikan. Hanya saja kewenangan penyidikan tersebut bersifat khusus, yakni terbatas pada bidang pidana militer. Di luar militer, yakni pidana umum diberikan kewenangan kepada penyidik Polri dan PPNS. Kendati demikian, Mulfahri enggan menilai terburu-buru apakah menggunakan tenaga TNI dinilai tepat atau sebaliknya. “Tapi perlu kajian mendalam,” katanya.

Lebih jauh politisi Partai Amanat Nasional itu berpandangan UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK telah mengatur penyidik lembaga antirasuah berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Pasal 39 ayat (3) menyebutkan, Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Ia menilai UU No.30 Tahun 2002 masih cukup memadasi terkait dengan tenaga penyidik KPK. Menurutnya, ketegangan antara kepolisian dengan KPK tak melulu mengambil jalan tengah dengan melibatkan TNI. Ia berharap, penyidik KPK tetap berasal dari institusi kepolisian maupun kejaksaan.

“Saya kira ketegangan antara KPK dengan Polri tidak berpikir untuk mengambil sumber daya manusia dari luar Polri,” katanya.

Lebih lanjut, Mulfahri berpandangan penggunaan tenagan TNI sebagai penyidik dikhawatirkan bakal dipermasalahkan banyak pihak. Pasalnya jika ingin menggunakan tenaga TNI, maa mesti diubah terlebih dahulu peraturan perundangan. Penyidik dan penuntut umum sudah diatur secara jelas dan gamblang dalam UU KPK.

“Bahwa penyidik itu sumbernya Polri dan kejaksaan. Jadi saya kira harus hati-hati kalau merekrut penyidik internal harus cermat, agar tidak dipermasalahkan orang,” katanya.

Anggota Komisi III Nasir Djamil berpendapat, wacana penggunaan tenaga TNI sebagai penyidik KPK sebaiknya ditiadakan. Pasalnya, agenda reformasi mengamantkan agar TNI kembali pada fungsi utamanya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).

Kendati demikian, Nasir yakin TNI memiliki kemampuan sebagai penyidik lantaran memiliki polisi militer. Bahkan, TNI memiliki jaksa yang disebut dengan oditur militer. Namun begitu, sepanjang masih berdiri institusi kepolisian, kebutuhan menggunakan TNI sebagai penyidik belum diperlukan.

“Karena polisi masih ada. Pertanyaannya kalau penyidik militer hadir di KPK, berani KPK menyelediki dugaan korupsi di tubuh TNI ?,” imbuhnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpandangan, terlepas kelebihan dan kekurangan menggunakan tenaga TNI sebagai penyidik KPK, bukan saja dilakukan kajian mendalam, tetapi juga pembicaraan intens antara  berbagai stakeholder. Menurutnya menggunakan tenaga TNI sebagai penyidik KPK bukan menyelesaikan persoalan.

“Menyelesaikan masalah dengan cara instan justru akan berpotensi melahirkan masalah baru,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait