Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode Disebut ‘Kematian Demokrasi’
Berita

Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode Disebut ‘Kematian Demokrasi’

Ada lima strategi yang digunakan petahana dalam upaya mempertahankan kekuasaannya, salah satunya melalui amandemen konstistusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR. Foto: RES
Gedung MPR/DPR. Foto: RES

Rencana amandemen konstitusi terus bergulir dan menjadi bola liar. Belum adanya kepastian poin mana saja yang bakal diamandemen, muncul wacana baru yakni jabatan presiden diubah menjadi tiga periode. Sontak wacana ini memunculkan komentar negatif dari sejumlah kalangan, terutama dari kalangan parlemen. Wacana memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode ini dinilai bukan hanya sebagai kemunduran, tetapi kematian demokrasi.

 

“Saya kira ini bukan hanya kemunduran demokrasi, tapi mematikan demokrasi kita,” ujar anggota Komisi I DPR Fadli Zon di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (3/12/2019). Baca Juga: Amandemen Konstitusi Potensial Jadi ‘Bola Liar’

 

Menurut dia, menggulir wacana jabatan presiden tiga periode sangat berbahaya. Sebab, hal ini berpotensi ada kecenderungan petahana berupaya mempertahankan kekuasaannya. Ini pernah ada penelitian yang dipublikasikan University of Virginia School of Law baru-baru ini yang berjudul, “The Law and Politics of Presidential Term Limit Evasion”.

 

Dalam riset itu menyimpulkan secara global tidak kurang dari sepertiga presiden petahana yang sudah habis batas periode jabatannya berupaya mengubah konstitusi negaranya untuk tetap mempertahankan kursi kekuasaannya. “Kecenderungan ini bukan hanya terjadi di negara-negara nondemokrasi, tapi terjadi juga di negara-negara demokrasi,” kata dia.

 

Politisi Partai Gerindra itu menerangkan studi tersebut menyebut lima strategi konstitusional yang kerap digunakan petahana agar tetap berkuasa. Pertama, melalui amandemen konstitusi. Kedua, melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batasan masa jabatan presiden. Ketiga, membuat konstitusi baru. Keempat, memanfaatkan faithful-agent yakni suksesor yang berada di bawah kendali petahana. Kelima, melalui strategi penundaan pelaksanaan pemilu.  

 

Mantan Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 itu melanjutkan bila merujuk pada penelitian tersebut dalam konteks Indonesia, strategi yang dapat digunakan petahana memperpanjang kekuasaannya dengan mengamandemen konstitusi. Menurutnya, petahana tak mungkin menggunakan strategi kedua. Sebab, pada 2018, MK telah menolak  permohonan uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) UU Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.

 

“Dengan adanya putusan tersebut, maka penafsiran tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah jelas yaitu hanya 2 periode sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945,” kata Fadli.  

 

Namun begitu, strategi ketiga, keempat, dan kelima masih terbuka peluang untuk ditempuh. Hanya saja, sejauh ini wacana tersebut belum muncul ke permukaan. Sementara  wacana yang dengan “menunggangi” agenda amandemen kelima UUD Tahun 1945. Memang sejauh ini belum terdapat partai di parlemen maupun pejabat negara yang tegas mengusung wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Namun, bila publik toleran, bukan tidak mungkin wacana tersebut bakal terus digulirkan

 

“Yang kita butuhkan saat ini ‘meremajakan kembali’ reformasi, bukan malah menarik mundur kembali Reformasi. Jika wacana tersebut dibiarkan hidup, saya khawatir harga politiknya sangat mahal,” kata dia memperkirakan.

 

Tak perlu dibesar-besarkan

Ketua Fraksi Golkar di MPR Idris Laena meminta wacana masa jabatan tiga periode mestinya tak perlu dibesar-besarkan. Bahkan tak perlu pula disikapi secara serius. Sebab, mengubah perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah perkara mudah dan harus  mengubah konstitusi yang tidak bisa sembarangan dan ada persyaratan ketat.

 

Golkar sendiri, kata Idris, belum berpikir mendukung atau menolak mengenai isu memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, rencana mengamandemen konstitusi soal memasukan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN) pun belum final. Partai berlambang pohon beringin itu pun masih terus melakukan kajian dan menyerap aspirasi masyarakat.

 

“Jangankan bicara perpanjangan masa jabatan presiden, terkait wacana amandemen UUD Tahun 1945, bahkan kami di Fraksi Partai Golkar belum pernah bahas,” lanjutnya.

 

Anggota Komisi VI DPR itu mengaku sejauh ini Fraksi Golkar belum melihat urgensinya mengamandemen UUD 1945. Sebab, UUD Tahun 1945 merupakan konstitusi negara yang menjadi hukum dasar negara Republik Indonesia. Karenanya, isu apapun yang diusung diamandemen UUD Tahun 1945 perlu kajian mendalam.

 

Sementara Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman tegas menolak wacana perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode termasuk wacana pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke MPR. Menurutnya, semua pihak harus berkomitmen menjaga semangat reformasi dan demokrasi dengan membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya memperbesar kekuasaan. “Agar tidak terjadi penyalahgunaaan kekuasaan,” kata Sohibul.

 

Menurutnya, partai yang dipimpinnya tetap menginginkan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. “Pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR adalah langkah mundur demokrasi dan menghilangkan prinsip kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya,” kata dia.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pihak-pihak yang mengusulkan amandemen UUD 1945 dengan mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode hanya ingin mendapat perhatian semata. Bahkan, menampar “wajah” Presiden.

 

“Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. (Mereka yang usul, red) itu, satu ingin menampar mukanya saja, kedua ingin mencari muka, ketiga ingin menjerumuskan, itu saja,” ujar Jokowi di Istana Presiden sebagaimana dilansir Antara, Senin (2/12/2019) kemarin.

Tags:

Berita Terkait