Voucer Pulsa dan Token Listrik Dikenai Pajak, Begini Penjelasannya
Berita

Voucer Pulsa dan Token Listrik Dikenai Pajak, Begini Penjelasannya

Aturan ini tidak menimbulkan jenis pajak baru. Pengenaan PPN terhadap telekomunikasi sudah diatur sejak tahun 1988.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan peraturan terbaru terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer. Aturan ini tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token dan Voucher.

Dalam press rilis yang diterima Hukumonline, Jumat (29/1), Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa pengenaan PPN dan PPh atas penyerahan pulsa/kartu perdana/token listrik/voucer sudah berlaku selama ini, sehingga tidak terdapat jenis dan objek pajak baru.

“Peraturan ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer,” kata Sri Mulyani.

Beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat terkait pemungutan PPN atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer berdasarkan ketentuan yang baru ini, yakni, pertama untuk pulsa dan kartu perdana, pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi. Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur).

Kedua, token listrik. PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya. (Baca Juga: Begini Ciri Umum dan Khusus Meterai Tempel 2021)

Ketiga, Voucer. PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucher, bukan atas nilai voucer itu sendiri. Hal ini dikarenakan voucher diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN.

Di sisi lain, pemungutan PPh Pasal 22 untuk pembelian pulsa/kartu perdana oleh distributor, dan PPh Pasal 23 untuk jasa pemasaran/penjualan token listrik dan voucer, merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final. Atas pajak yang telah dipotong tersebut nantinya dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucher dalam SPT Tahunannya. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa ketentuan ini tidak mempengaruhi harga pulsa/kartu perdana, token listrik, atau voucer. Ketentuan ini mulai berlaku sejak 1 Februari 2021.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan bahwa PPN sdh ada sejak  Desember 1983 dan berlaku 1 Juli 1984, melalui UU No 8 Tahun 1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988 yg mengatur secara spesifik ttg PPN Jasa Telekomunikasi.

Namun seiring berkembangnya teknologi, sarana transmisinya berubah ke voucher pulsa dan pulsa elektrik, sehingga PPN dikenakan ke voucer pulsa dan voucer listrik.

“Awalnya jasa telekomunikasi melalui sambungan kabel, lalu satelit, terus ke seluler dengan pasca bayar, lalu pra bayar. Pulsa kemudian jadi babak baru, penanda transmisi jasa telekomunikasi yang bisa fleksibel dipindahtangankan dan digunakan. Kini pulsa sebagian besar elektrik bukan fisik. Jadi gamblang, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucher pulsa dan pulsa elektrik, sudah terutang PPN sejak UU 8/1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988 yang mengatur secara spesifik ttg PPN Jasa Telekomunikasi.” kata Yustinus, Sabtu (30/1).

Dahulu, lanjut Yustinus, Perumtel sebagai pengusaha yang wajib memungut PPN atas penyerahan jasa telekomunikasi, kini pemungutan PPN wajib dilakukan ke seluruh provider jasa telekomunikasi. Pengenaan PPN dilakukan dengan mekanisme normal, PPN dipungut di tiap mata rantai dengan PPN yang dibayar dapat dikurangkan, dan yang disetor adalah selisihnya.

Namun mekanisme ini menimbulkan permasalahan di lapangan, khususnya di distributor dan pengecer sebagai bagian mata rantai. Terutama yang skala menengah-kecil kesulitan menjalankan kewajiban karena secara administrasi belum mampu, sehingga di lapangan memunculkan dispute dengan Kantor Pajak, kemudian ada imbauan dan pemeriksaan pajak.

"Dispute di lapangan tak terhindarkan dan timbul ketidakpastian. Kadang ketetapan pajak yang besar sangat memberatkan distributor/pengecer. Tapi petugas pajak tak keliru ketika ada objek yabg ditagih. Jika dibiarkan, ada kerugian di kedua pihak. Maka ini dimitigasi  oleh Ditjen Pajak,” jelasnya.

Dengan adanya PMK-6/2021 justru memberi kepastian status pulsa sebagai Barang Kena Pajak. Tujuannya agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.

“Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan. Tapi kan ada PPh Pasal 22 0,5%? Bagaimana ini?” tambah Yustinus.

Terkait PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen, jika diilustrasikan PPh 0,5% ini Rp 500 perak dari voucher pulsa Rp 100 ribu. PPh 22 ini memang dipungut, tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun.

“Bagi yang sudah WP UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukin dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan? Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yg biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara,” tegasnya.

Sementara itu, pengamat pajak Kristiaji Bawono menyampaikan bahwa tidak ada jenis pajak baru yang timbul dari beleid terbaru Menteri Keuangan tersebut. Selama ini dari sistem PPN yang berlaku di Indonesia, penyerahan barang dan/atau jasa yang berkaitan dengan pulsa, voucer, token pada dasarnya dikenakan PPN. Adapun beleid ini justru untuk menciptakan kepastian dan kesederhanaan pemotongan/pemungutan pajak di lapangan agar pengenaan pajaknya lebih efektif.

“Di sisi lain, sistem PPh kita berprinsip pada pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis termasuk misalkan dari jasa penjualan/pemasaran barang-barang tersebut. Jadi tidak ada yang baru,” katanya kepada Hukumonline, Sabtu (30/1).

Kristiaji juga menegaskan bahwa tak ada double tax dari kebijakan ini. Baik sistem PPN dan mekanisme withholding tax PPh di Indoneisa pada dasarnya bersifat netral. Salah satunya dengan adanya mekanisme pengkreditan pajak sehingga mencegah beban pajak dalam mempengaruhi harga.

 

Tags:

Berita Terkait