Vonis Gayus Dianggap Terlalu Ringan
Berita

Vonis Gayus Dianggap Terlalu Ringan

Putusan 7 tahun terhadap Gayus Tambunan sangat ironis mengingat harapan publik terhadap penegakan hukum sangat tinggi saat ini.

Yoz/Inu/Fat
Bacaan 2 Menit
Putusan tujuh tahun penjara terhadap Gayus Halomoan<br> Tambunan dianggap terlalu ringan. Foto: Sgp
Putusan tujuh tahun penjara terhadap Gayus Halomoan<br> Tambunan dianggap terlalu ringan. Foto: Sgp

Parlemen kecewa atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan selama tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta. Putusan ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menginginkan Gayus dihukum selama 20 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta. DPR menduga, ada intervensi dari pihak luar yang mempengaruhi putusan pengadilan.

 

Ditemui di Gedung DPR, Rabu (19/1), Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyatakan kekecewaannya atas putusan Gayus. Menurutnya, vonis tujuh tahun terhadap mantan pegawai Dirjen Pajak itu sangat rendah. Ia mensinyalir, ada jaringan yang kuat di belakang Gayus. “Putusan 7 tahun terhadap Gayus sangat ironis mengingat harapan publik terhadap penegakan hukum sangat tinggi saat ini,” ujarnya.

 

Kekuatan-kekuatan yang ada di belakang Gayus memang tidak terlihat. Akan tetapi, kata Pram, hal itu bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Gayus sedang memainkan perannya saat ini. Pengakuannya terkait keterlibatan John Jerome Grice, agen Central Intelligence Agency (CIA) dalam pembuatan paspor palsu, misalnya. Pengakuan ini, lanjut Pram, harus diungkap kebenarannya oleh Komisi III DPR.

 

Meski pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap Gayus, Pram berharap aparat penegak hukum terus menelusuri kasus tersebut. Apalagi, banyak pengakuan baru yang diungkap Gayus terkait kasus yang membelitnya. “DPR tidak ingin ikut campur, tapi melihat fakta-fakta yang ada, persoalan ini tidak boleh berhenti sampai dengan Gayus saja,” tuturnya.

 

Kekecewaan tidak hanya datang dari parlemen. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis juga mengaku terkejut akan putusan pengadilan terhadap Gayus. Menurutnya, untuk kasus yang menginjak-injak institusi penegak hukum, mengapa pelaku hanya dihukum seringan” itu.

 

Kasus ini, ujar Todung, melibatkan banyak orang dan membuktikan adanya praktik mafia hukum dan mafia pajak. Menurutnya, apabila ingin mengirim sinyal perang terhadap koruptor, hukuman berat adalah jawabannya. Dia mengitung, jika pada tingkat pertama dihukum tujuh tahun, ada peluang dikurangi oleh pengadilan tingkat lebih tinggi. Jika dikuatkan, lanjutnya, paling lama Gayus hanya menjalani empat tahun panjara. “Mana ada koruptor takut kalau begitu,” ketusnya.

 

Memang, itu bukan satu-satunya tindak pidana. Dia sampaikan, pidana itu mungkin juga karena majelis menilai bahwa Gayus sebagai whistle blower. Tapi, bisa jadi disebabkan oleh minimnya berkas dakwaan yang dibuat jaksa karena hasil penyidikan yang minim. Indikasi dugaan itu, urai Mulya, karena jaksa hanya mendakwa suap yang terkait Gayus sebesar Rp500 juta. Namun, 151 perusahaan yang disebut Gayus memberi suap tak diungkap penyidik dan jaksa.

 

Sementara itu, praktisi hukum Bambang Widjojanto melihat putusan hakim seakan memposisikan Gayus sebagai korban. Menurutnya, hakim tidak harus memutus perkara seperti itu. Seharusnya hakim memutus perkara dengan memposisikan terdakwa Gayus sama dengan pihak-pihak lain yang diduga terlibat. Semisal, Jaksa Cirus Sinaga, para pimpinan Gayus di Direktorat Jenderal Pajak yang belum tersentuh dan kasus yang menjerat Polisi Raja Erizman.

 

“Jangan-jangan, rasa keadilan hakim yang seperti itu yang bekerja. Seolah-olah Gayus ditempatkan menjadi orang yang menjadi victim, mestinya kan seluruh orang itu, yang kena. Kan menjadi tidak fair ketika Gayus dibawa tetapi Cirus nggak kena,” tutur Bambang di Gedung KPK.

 

Ia melihat, hasil putusan Gayus yang jauh dari tuntutan jaksa ditengarai ada kesenjangan antara Kejaksaan Agung dengan rasa keadilan hakim. Bahkan, yang lebih membuat perbedaan tersebut mencolok adalah keyakinan Kejaksaan secara lembaga yang menuntut Gayus hingga 20 tahun penjara dalam kasus tersebut. “Kemudian, hakim memutus tujuh tahun, itu kan artinya ada cukup banyak fakta yang tidak diyakini oleh hakim,” katanya.

 

Bambang menduga, rasa keadilan hakim berikan dikarenakan atas fakta-fakta yang terjadi di pengadilan. Sehingga banyak pihak yang seharusnya bertanggung jawab tapi tidak dipertanggungjawabkan. “Maka itu ada disparitas mengenai hukumannya,” katanya.

 

Terkait dugaan campur tangan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, Bambang berharap ada klarifikasi. Menurutnya, Denny yang merupakan bagian dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum selalu memberikan informasi yang berkualitas terkait laporan Satgas ke presiden.

 

Sejalan dengan tugas Satgas, fungsi koordinasi tetap dipegang oleh KPK. Menurut dia, fungsi ini jelas berada di KPK karena sesuai amanat UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk. Tapi dari 12 instruksi presiden yang keluar beberapa hari lalu, yang terjadi malah sebaliknya.

 

“Tapi dalam seluruh inpres itu kan KPK hanya jadi tempelan saja. Tapi untuk dilibatkan saja itu sudah bagus, tapi apakah itu tidak distorsif kalau melihat UU KPK,” pungkasnya.

 

 

Tags: