Vonis Angie Momentum Perbaikan Sistem Anggaran
Berita

Vonis Angie Momentum Perbaikan Sistem Anggaran

Praktik korupsi anggaran tidak hanya dilakukan oleh seorang Angelina Sondakh.

CR14
Bacaan 2 Menit
Vonis terhadap Angelina Sondakh (tengah) momentum perbaikan sistem anggaran. Foto: Sgp
Vonis terhadap Angelina Sondakh (tengah) momentum perbaikan sistem anggaran. Foto: Sgp

Anggota Komisi III DPR Didi Irawadi Syamsudin menyatakan, vonis terhadap Angelina Sondakh harus dihormati oleh semua pihak tanpa terkecuali. Pernyataan Didi ini menanggapi tuduhan dan komentar miring dari beberapa pihak soal vonis ‘ringan’ yang dijatuhkan mejelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada mantan anggota Komisi X DPR itu.

“Saya mengajak semua pihak untuk menghormati hasil putusan pengadilan karena semua proses telah dilalui sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, katanya kepada hukumonline di Jakarta, Sabtu, (12/1).

Menurut Didi, kasus ini tidak boleh hanya berhenti sampai disini. Dia mengatakan, kasus ini harus tuntas sehingga dapat mengungkap siapa saja oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Artinya, semua pihak yang diduga terlibat bisa diproses secara hukum. Vonis ini juga diharapkan menjadi momentum dalam konteks perbaikan sistem anggaran yang selama ini memang membuka celahterjadinya praktik korupsi.

“Kalau hanya Anggie saja, lalu tidak diungkap yang lain, berarti ini belum tuntas semuanya,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Didi menekankan bahwa praktik korupsi anggaran tidak hanya dilakukan oleh seorang atau dua orang individu. Dalam hal ini, tentu tidak hanya melibatkan Angie seorang. Dia merujuk pada proses penindakan yang dilakukan oleh KPK. Menurutnya, KPK dalam hal ini telah mengantongi nama lain yang wajib diungkap.

Namun, ia enggan berkomentar siapa nama-nama tersebut.Dia melanjutkan, nama lain yang selama ini disebut seolah tidak terungkap kasusnya. “Ini logika sederhana saja bila terjadi praktik korupsi anggaran. Jadi, tidak mungkin hanya memutuskan seorang oknum saja seperti Angie, Nazarudin atau pada oknum tertentu lainnya,” ujar Didi.

Hal inilah yang menjadi tugas rumah KPK untuk mengungkap semuanya secara terang benderang. Jika tidak, Didi khawatir masalah ini menjadi budaya yang tidak bagus bagi proses penegakan hukum terhadap praktik korupsi anggaran.

“Jangan sampai dengan vonis Angie seolah-olah selesailah pula semua kasus ini,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan hakim yang juga akademisi dari Universitas Trisakti, Asep Irawan, menyatakan dalam kasus Anggie ini dakwaan yang diajukan kepada majelis hakim dikonstruksikan dalam bentuk dakwaan alternatif. Ia menjelaskan bahwa alternatif itu merupakan pilihan bagi hakim, di mana hakim bebas memilih pasal mana yang digunakannya.

Dalam posisi ini, menurutnya, hakim ‘disuruh’ memilih tiga pasal dalam UU Tipikor sebagai bahan pertimbangan dalam memutus, yaitu Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 12 UU Tipikor. Pasal 5 dan Pasal 12 intinya sama, siapapun yang menerima uang karena jabatannya.

Hanya saja ancamannya berbeda, Pasal 5 minimal satu tahun dan maksimal lima tahun. Pasal 12 minimal empat tahun maksimal seumur hidup dan/atau selama-lamanya atau dua puluh tahun. Selain itu, ada Pasal 11 yang yang biasanya mengarah ke gratifikasi.  “Nah, hakim ini saya lihat cenderung memilih Pasal 11 UU tipikor”, terangnya.

Dalam kasus anggie, lanjut Asep, jelas memenuhi unsur yang ada dalam Pasal 12. Namun, hakim dalam perkara itu tiba-tiba memilih menggunakan Pasal 11, yang menunjukan seolah-olah yang aktif itu pihak Kemendiknas.

“Kalau saya jadi hakimnya, supaya tidak dituduh macam-macam tetap saja dengan jaksa kenakan Pasal 12”, pungkasnya.

Tags: