Viral di Medsos, Baleg DPR: Draf UU Cipta Kerja Masih Dirapikan
Berita

Viral di Medsos, Baleg DPR: Draf UU Cipta Kerja Masih Dirapikan

Baleg DPR meminta kepada anggota DPR, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga tidak menyebarluaskan informasi draf UU Cipta Kerja yang belum dipastikan kebenarannya, dikendalikan dulu.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Suasana sidang paripurna usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Suasana sidang paripurna usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja telah disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020) kemarin. Namun, setelah pengesahan RUU Cipta Kerja ini menjadi UU beredar draf UU Cipta Kerja di sejumlah media sosial. Padahal, DPR sendiri belum mengeluarkan secara resmi draf final UU Cipta Kerja.             

Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo mengaku sedih dengan beredarnya isi draf RUU Cipta Kerja yang belum final dan sudah tersebar di media sosial sebelum disahkan oleh pemerintah dan DPR. Hal ini yang mengakibatkan publik salah mengartikan isi UU tersebut.

“Beredarnya draf ini konsekuensi dari pembahasan Rancangan UU Cipta Kerja sebagai UU yang memang dibahas secara transparan karena siapapun semua bisa mengikuti melalui zoom dan kemudian itu disiarkan secara live oleh tv parlemen dan itu dikutip oleh tv lain,” ujar Firman Soebagyo dalam keterangaannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (7/10/2020).

Dia menerangkan draf RUU Cipta Kerja yang dibahas tidak sekaligus final itu masih ada proses-proses yang memang secara bertahap perlu ada penyempurnaan. Karena itu, kalau ada pihak-pihak menyampaikan pandangan lama tentang RUU Cipta Kerja pastinya akan beda dengan yang draf final.

"Apalagi kalau mereka hanya diujung. Saya lihat saat ini beredar juga baik dari medsos melalui viral-viral justru itu memprovokasi baik itu dari buruh, masyarakat, dan mahasiswa karena kurang akuratnya data dan informasi yang diperoleh,” kata Firman (Baca Juga: Polemik Pengaturan Pesangon dan JKP dalam RUU Cipta Kerja)

Politikus Golkar ini mengambil contoh saja seperti pengaturan cuti haid, cuti kematian, upah minimum, outsourcing ada pembatasannya, pesangon itu aturannya ada semua di RUU Cipta Kerja. Khusus besaran pesangon itu memang awalnya sesuai UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sebanyak 32 kali gaji/upah. Tetapi, besaran pesangon 32 kali gaji itu yang mampu melaksanakan itu hanya 7 persen perusahaan.

"Artinya kalau membuat UU itu kan harus bisa dilaksanakan, tidak bisa membuat UU kasih pesangon 32 kali, tapi tidak bisa dieksekusi malah rakyat makin dibohongi, ini bisa jadi peluang. Peluangnya ketika pesangon 32 kali tidak bisa dilaksanakan, mungkin nanti ada pihak-pihak menjembatani menjadi tim negosisasi, akhinya tercapai kesepakatan ini akhirnya terjadi manipulasi dan terjadilah moral hajat disitu," ujarnya.

Karena itu, pihaknya memastikan hak pesangon untuk buruh dari perusahaan sebesar 19 kali gaji dan negara (pemerintah) hadir memberikan 6 kali gaji melalui program jaminan kehilangan pekerjaan, sehingga jumlah pesangon 25 kali. “Kalau dulu 32 kali tidak bisa dieksekusi dan karyawan tidak ada jaminan kehilangan pekerjaan. Sekarang dengan adanya UU ini jaminan kehilangan pekerjaan bisa diikuti dengan training, dilatih oleh badan pelatihan kerja, kemudian pekerja nantinya bisa bekerja di tempat lain," terang Firman.

Karena itu, Firman meminta kepada anggota DPR, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga tidak menyebarluaskan informasi draf UU Cipta Kerja yang belum dipastikan kebenarannya, dikendalikan dulu. "Sampai hari ini, kita sedang rapikan (draf RUU Cipta Kerja, red), kita baca dengan teliti kembali naskahnya jangan sampai ada salah typo. Sebagiannya nanti hasil itu akan segera dikirim ke Presiden untuk ditangani (disahkan, red) menjadi UU dan sudah bisa dibagikan ke masyarakat,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyoroti klaster ketenagakerjaan yang banyak menjadi perbincangan di masyarakat, terutama terkait isu/ hoaks yang terlalu banyak beredar, sehingga menimbulkan persepsi yang salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami tegaskan di UU Cipta Kerja, upah minimum tidak dihapuskan. Upah ditetapkan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi, sehingga upah tidak akan turun. UU Cipta Kerja bahkan mengatur upah pekerja harus lebih tinggi dari upah minimum,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers secara daring, Rabu (7/10/2020).

Senada, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melanjutkan setelah UU Cipta Kerja disahkan banyak distorsi informasi terkait kluster ketenagakerjaan. Ida menegaskan dalam perumusan pasal-pasal terkait ketenagakerjaan, pemerintah bersama DPR mematuhi putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan.

“Beberapa informasi terjadi pemelintiran. Jadi ketentuan ketenagakerjaan tetap diatur sesuai UU Ketenagakerjaan, namun ada tambahan baru seperti tambahan perlindungan kepada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu adanya konpensasi kepada pekerja atau buruh saat berakhirnya PKWT,” jelasnya.

Kemudian dalam kegiatan alih daya (outsourcing), kegiatan alih daya masih tetap dipertahankan dalan UU Cipta Kerja dengan memasukkan prinsip sesuai putusan MK. Bahkan kegiatan alih daya mengatur syarat perizinan terhadap perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).

“Mengatur syarat-syarat perizinan perusahaan outsourching dalam OSS, sehingga pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan perusahaan harus terdaftar dalam sistem OSS,” jelasnya.

Ida kemudian menyoroti ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat yang banyak mengandung disinformasi. Terkait hal ini, Ida menegaskan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat masih merujuk kepada UU Ketenagakerjaan dengan memambah pengaturan baru yakni ketentuan waktu kerja dan istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu. Hal tersebut perlu diatur karena mempertimbangkan bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu di era ekonomi digital yang saat ini berkembang sangat dinamis.

“Pengaturan upah minimum, UU Cipta Kerja tetap mengatur sesuai UU Ketenagakerjaan dan PP No.78 Tahun 2015 dan selanjutnya akan diatur oleh PP."  

Tags:

Berita Terkait