Verifikasi Media, Antara Kebebasan Berpendapat dan Profesionalitas
Berita

Verifikasi Media, Antara Kebebasan Berpendapat dan Profesionalitas

Tak ada sanksi hukum bagi media atau jurnalis yang tak ikut uji verifikasi, namun lebih ke sanksi moral.

CR20
Bacaan 2 Menit
Profesi jurnalis. Foto: RES (Ilustrasi)
Profesi jurnalis. Foto: RES (Ilustrasi)
Wacana melakukan verifikasi terhadap perusahan media dan uji kompetensi bagi jurnalis kembali menguat. Wacana ini terlontar dengan alasan untuk menyehatkan kualitas dari produk jurnalistik itu sendiri. Namun, ada kekhawatiran muncul dari wacana ini. Salah satunya mengenai kebebasan berpendapat dari pers itu sendiri.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Suwarjono, mengatakan, belum ada sosialisasi dari Dewan Pers terkait detail persyaratan yang dibutuhkan dalam melakukan verifikasi. Meski menyambut baik wacana ini, namun ia mengkhawatirkan akan mengancam kebebasan berpendapat yang selama ini dimiliki pers.

“Sebenarnya wacana ini baik untuk meningkatkan profesionalitas jurnalis. Namun yang dikhawatirkan, uji verifikasi ini bisa mengancam kebebasan pers apabila tidak ada tolak ukur dan kriteria yang jelas dalam pelaksanaan verifikasi. Label juga bisa jadi menyulitkan jika dalam melakukan verifikasi ternyata birokrasinya berbelit-belit,” kata Jono pada hukumonline, Jumat (3/9).

Mengenai uji kompetensi bagi wartawan, Jono mengatakan bahwa AJI sudah melaksanakan uji kompetensi bagi wartawan yang bernaung di bawahnya. Apabila Dewan Pers ingin melakukan uji kompetensi bagi jurnalis, Jono meminta syarat dan aturan mainnya dibuat dengan jelas.

“Apabila terjadi malpraktik jurnalisme, izin kompetensi ini apakah bisa dicabut? Syaratnya juga mesti clear,” kata Jono.

Jono juga meminta Dewan Pers untuk melakukan dialog secara terbuka terutama kepada asosiasi pers. “AJI belum pernah diajak bicara. Dewan Pers perlu melakukan sosialisasi tentang aturan mainnya. Arahnya ke profesionalitas, tetapi jangan sampai mengganggu kebebasan pers.”

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo menjelaskan, verifikasi media dan uji kompetensi jurnalis bertujuan untuk menyehatkan kualitas produk jurnalistik di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Pers, dari 43.000 media siber dan 2000 media cetak, hanya 211 media siber dan 460 media cetak yang telah lolos uji verifikasi.

“Proses verifikasi ini gratis. Silahkan media-media ini mengajukan permohonan uji verifikasi kepada Dewan Pers, mengirimkan dokumen yang disyaratkan. Nanti Dewan Pers yang menilai kualitas produk jurnalistiknya,” ujar pria yang disapa Stanley ini kepada hukumonline.

Dewan Pers nantinya akan mengeluarkan semacam watermark bagi media-media yang sudah dinyatakan lolos uji verifikasi. “Tidak ada sanksi hukum bagi media yang tidak mau melakukan verifikasi. Tetapi ini menjadi tuntutan moral kepada pembaca untuk membedakan mana media yang sudah menjalankan kaidah jurnalistik dan mana yang tidak,” ujarnya.

Stanley menjelaskan kriteria persyaratan dalam uji verifikasi. Mulai dari berbadan hukum, jelas alamat kantornya, jelas siapa penanggung jawabnya. “Kita akan lihat kualitas pemberitaannya apakah sudah memenuhi kaidah jurnalistik, apakah dikelola oleh wartawan yang memiliki sudah memiliki kompetensi sebagai jurnalis, apakah pemberitaannya dilakukan secara berkala, jadi tidak sekedar menggoreng isu untuk menarik pembaca,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa selama ini banyak aduan yang dilaporkan oleh masyarakat kepada Dewan Pers. “Jumlah aduan yang dilaporkan masyarakat kepada Dewan Pers, untuk tahun 2015 saja itu ada 800 kasus. Tidak terhitung kejadian yang tidak dilaporkan. Identitas sebagai jurnalis ini sekarang banyak disalahgunakan. Kartu pers sekarang juga mudah untuk dipalsukan.”

Stanley mengatakan Dewan Pers hanya bisa menyidangkan pelanggaran kode etik, tidak bisa menyidangkan pelanggaran hukum terhadap wartawan atau orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Jika ada pelanggaran hukum, Dewan Pers mempersilakan diproses ke aparat penegak hukum. Saat ini Dewan Pers telah memiliki MoU dengan aparat penegak hukum yakni pihak Kepolisian dan Kejaksaan.

Misalnya, lanjut Stanley, ada orang yang mengaku sebagai wartawan di Bima. Orang tersebut mencetak sendiri koran dari berita yang didapat dari internet. Koran buatannya ini kemudian dijadikan alat pemerasan kepada SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah). Kemudian ia meminta meja kerja di Kantor Pemkab setempat. Apabila tidak diberikan, dia mengancam akan melaporkan dengan dalih kebebasan pers.

Selain melakukan verifikasi media, Dewan Pers juga mewacanakan untuk melakukan uji kompetensi untuk jurnalis. Hingga saat ini, baru 8000 jurnalis yang mengantongi sertifikat, dari sekitar 80.000 orang yang bekerja sebagai jurnalis di Indonesia.

“Banyak profesi untuk berpraktik kan juga harus memiliki izin, misalnya dokter atau advokat. Jurnalis yang tidak kompeten kan tidak bisa mengantongi izin. Tidak ada sanksi hukum, namun ini kesadaran moral dari jurnalis yang bersangkutan untuk membuat produk jurnalistik dengan kompetensi yang dibutuhkan. Sertifikat ini juga penting bagi narasumber, jadi silahkan narasumber nanti memilih untuk meladeni atau tidak meladeni wartawan yang memiliki kompetensi atau tidak,” tutur Stanley.
Tags:

Berita Terkait