Valentino Simanjuntak:
Komentator ‘Jebret’ Bergelar SH, MH
Profil

Valentino Simanjuntak:
Komentator ‘Jebret’ Bergelar SH, MH

Pemain sepakbola harus melek hukum.

ALI
Bacaan 2 Menit
Valentino Simanjuntak. Foto: SGP
Valentino Simanjuntak. Foto: SGP

Orang mengenalnya sebagai “Komentator Jebret”. Ya, nama Valentino Simanjuntak memang melambung ketika dia menjadi komentator turnamen sepakbola Piala AFF U-19 yang disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta nasional, beberapa pekan lalu.

Bukan hanya teriakan ‘jebret’ yang menjadi ciri khas Valent, sapaan akrabnya. Di sela komentar-komentarnya, Valent juga suka mengutip pernyataan tokoh-tokoh nasional seperti mantan Presiden RI Soekarno atau pahlawan wanita RA Kartini. Tetapi yang fenomenal tetap lontaran ‘jebret’ itu.

Nama Valentino Simanjuntak sontak tenar. Baik itu di dunia maya khususnya media sosial seperti Twitter dan Facebook, maupun kehidupan masyarakat sehari-hari, ‘jebret’-nya Valent menjadi bahan perbincangan.

Di balik ketenaran itu, mungkin banyak orang yang belum tahu sisi kehidupan Valent selain dunia komentator sepakbola. Dari latar belakang pendidikan formal, misalnya. Valent ternyata bergelar Sarjana Hukum (SH) sekaligus Magister Hukum (MH), yang dua-duanya diperoleh dari Universitas Padjajaran, Bandung.

Lalu, untuk karier, selain cuap-cuap soal pertandingan sepakbola, Valent ternyata juga menjabat sebagai General Manager Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI). Melalui APPI, Valent menjadi pembela hak-hak pemain sepakbola yang ditelantarkan klub-klubnya. 

Senin lalu (30/9), di sebuah gedung apartemen di Jakarta, hukumonline berkesempatan mewawancarai Valentino Simanjuntak. Selama kurang lebih satu jam, pria yang di laman blog pribadinya mengidentifikasi dirinya sebagai “Trainer-Presenter-Lawyer” itu berbagi kisah tentang pribadinya, perjalanan karier, dan perkembangan hukum olahraga di Indonesia. Berikut ini petikan wawancaranya:

Sejak kapan menjadi komentator sepakbola?
Gue sebenarnya presenter, karena di bola kan ada presenter dan komentator. Dan gue di sana (menjadi presenter) sejak 2006.

2004-2007, Gue lawyering di salah satu konsultan HKI di sini. Di 2006, Gue dapat kesempatan disuruh teman gue untuk casting bola, karena gue demen banget bola dan gue demen ngomong.

Gue dipercaya di sana jadi pembawa acara olahraga sampai 2010. Nah, 2006-2007, Gue kan nge-double bawa acara dan kerja (sebagai lawyer) ternyata lama-lama waktu nggak sempat. Kedua, passion gue lebih ke presenting dan gue ambil kursus.

Ketika gue keluar dari konsultan HKI, gue buat kantor hukum dengan teman-teman gue. Tetapi nggak terlalu jalan karena masing-masing fokus ada di tempat lain. Sambil di situ, gue belajar banyak tentang presenting.

Apa sekarang sudah berhenti beracara?
Gue dapat kesempatan sejak dua tahun lalu menjadi GM (General Manager) di APPI. Ilmu hukum gue pakai di sepakbola. Kesibukan gue yang semakin banyak dan tak terlalu ambisius dengan yang namanya beracara. Makanya gue berikan ilmu hukum gue untuk melakukan edukasi, memberikan advice untuk menyelesaikan masalah-masalah sepakbola.

Apa ada korelasi antara sebagai presenter dan lawyer?
Itu penonton yang nilai. Tapi, pasti ada lah. Kemampuan verbal gue jadi semakin baik, jadi terlatih, dan punya analisa kritis orang hukum. Ya udah, jadi sinergi deh.

Bagaimana pendapat Anda tentang Perkembangan Hukum Olahraga di Indonesia?
Dulu ada pro kontra dengan UU Keolahragaan, batasan-batasan dimana yang perlu diatur negara dan kegiatan individu yang nggak usah diatur. Sekarang hukum olahraga belum terlalu muncul ke permukaan. Masing-masing cabang olahraga punya aturannya sendiri. Apalagi, olahraga-olahraga masif yang punya federasi dari pusat mereka punya aturan tersendiri.

Menurut gue, belum terlalu jadi acuan dan landasan. Belum banyak yg tahu, bahkan teman-teman di dunia hukum juga tak tahu.

Di luar negeri, bidang sport berkaitan dengan entertainment (hiburan), sehingga jadi sports and entertainment law. Ini kan entertainment law di sini kan sudah lumayan, tapi sayangnya lebih ke artis. Bukan kepada hukum pada pengelolaan dunia entertainment itu sendiri, mengenai kontrak dan segala macam.

Di sini lebih kepada kasus ke si artis. Padahal cuma perceraian, pidana dan sebagainya, sehingga jadi bias. Karenanya, orang-orang hukum harus melihat bahwa bidang hukum entertainment dan olahraga ini bisa dikaji lebih dalam.

Bagaimana dengan masalah hukum di dunia sepakbola?
Bisa gue bilang, gue ada di satu asosiasi yang memang jadi patokan segala olahraga di Indonesia. Karena ini olahraga yang paling ramai, diminati dan dikritik semua orang.

Yang paling sulit ternyata selama ini, kita nggak pernah tahu, kita nggak pernah dicerahkan satu pandangan dan kenyataan bahwa hukum sepakbola begini loh. Ada orang-orang tertentu yg hanya menyatakan bahwa pendapat mereka yang jadi kebenaran.

Maksudnya, orang-orang ini tak pro kepada pemain?
Kita bicara secara garis besar. Hukum bola, istilahnya ya dari apa yg mereka sampaikan tapi setelah kita kaji lebih dalam ternyata bukan hanya itu. Itu yang mereka tak ungkap. Kita selama ini tak tahu karena patokan kita selalu mereka. Selalu orang-orang yang tampil menyampaikan peraturan.

Padahal ketika kita punya akses bergaul dengan dunia internasional, khususnya sepakbola, kita mulai gali peraturan, ternyata hanya sebagian sisi yang mereka ungkapkan. Sisi yang lain tak mereka ungkapkan.

Contohnya?
Ketika kita bicara, dalam statuta fifa, asuransi itu harus ditanggung oleh klub. Di Indonesia, dalam kontrak itu memang ada asuransi. Tapi coba tanya ke pemain bola, pernah nggak mereka dapat asuransi dari klub?

Berarti posisi pemain lemah selama ini?
Lemah karena ketidaktahuan mereka bahwa mereka punya hak untuk itu. Contoh lain, kita bicara tentang pemutusan kontrak sepihak. Setelah kita lihat kasus-kasusnya, nggak tahu nih, kalau sudah setengah musim harus ada kompensansi. Ada yang cuma dapat beberapa juta, ada yg dinegosiasikan, ada yg maksimal dua bulan gaji. Tak seragam.

Ada dua masalah dalam kontrak. Pertama, tak memenuhi standar kontrak minimum FIFA, dan kalau pun sudah ada pelaksanaan, tak berjalan. Yang disayangkan pemain juga. Mereka kadang-kadang lebih sering lihat nilai kontrak daripada baca yang lain.

Apakah pemain menggunakan jasa lawyer ketika menandatangani kontrak?
Mungkin hanya satu persen yang gunakan jasa lawyer. Ini kita mau sosialisasikan. Pemain kalau tandatangan kontrak cuma dia dan tuhan yang tahu, tapi kalau ada masalah biar semua masyarakat tahu.

Selama dua tahun ini sudah lumayan kesadaran pemain. Kasus yang masuk ada di atas 50-an. Kasus pemain yang dilaporkan. Sebelumnya, mereka nggak tahu dan nggak berani lapor.

Apa APPI juga ikut mendampingi pemain ketika menandatangani kontrak?
Kita maunya begitu. Sebelum tanda tangan, mereka minta legal advice kita dengan menjadi anggota APPI. Kita nggak bosan-bosan bilang. Tapi kenyatannya, sayangnya, setelah ada masalah, baru bilang.

Kita seperti jadi pemadam kebakaran.

Idealnya, mana yang lebih dulu? Pemain melek hukum atau lawyer yang harus semakin banyak masuk ke bidang hukum olahraga ini?
Gue pikir dari pemain dulu. Lawyer ini kan profesi sesuatu yg dijalankan untuk menghidupi dirinya. Apakah ada lawyer yang mau perhatian kalau nggak ada kasus? Beda dong dengan pemerhati hukum, kajiannya bisa kita pakai utk inside penelitian mereka untuk pemain bola dan jadi perhatian pengurus. Lawyer diperlukan bila ada satu masalah dulu, baru mereka bicara. Kita mau idealnya kita sudah cegah dulu.

Kan, lawyer bisa juga dampingi pemain ketika menandatangani kontrak?
Memang bisa mendampingi ketika tanda tangan kontrak. Tapi pemain harus sadar dulu ada hal-hal yang tak mereka kuasai. Mereka baca, dan gue nggak sanggup deh dengan yang begini-begini (isi kontrak), harus ada orang lain. Mereka harus sadari ini dulu, ini bukan masalah angka. Ini perlu pendamping. Kita nggak perlu dari APPI. Begitu pemain punya lawyer sendiri, bagus.

Banyak lawyer ngomong ke saya. Itu kan gampang. Ini kan wanprestasi dan sebagainya. Yang banyak nggak mereka tahu, kedaulatan FIFA lebih tinggi dari kedaulatan negara, seperti judul bukunya Hinca Pandjaitan. Itu memang benar adanya. Kenapa? Karena mereka sudah punya aturan, apa masalah yg terjadi dalam sepakbola, selesaikan sendiri aturan yang dibuat dari pusat.

Ada klausul kalau perangkat FIFA belum sampai ke lokal, bisa menggunakan hukum lokal, asalkan dua belah pihak (pemain dan klub) dan federasi sepakat memakai hukum lokal. Sekarang, perangkatnya yang namanya National Dispute Resolution Chamber (NDRC) belum ada di Indonesia.

Apa bidang hukum olahraga, khususnya sepakbola, merupakan pangsa pasar yang bagus untuk para lawyer?
Pengalaman kita belum. Dari 350 member APPI, paling cuma 20 orang yang bayar iuran. Itu hanya 500 ribu pertahun. Gimana mau bicara lawyer fee.

Apa harapan Anda terkait hukum olahraga di Indonesia ke depan?
Kita berharap atlet-atlet semakin terlindungi dengan adanya perlindungan dalam hukum olahraga nasional maupun dari induk-induk federasi mereka masing-masing.

Kedua, hukum olahraga ini sampai pada tahapan, federasi dan di bawahnya wajib melakukan pengelolaan yang benar yang menjamin atlet-atlet punya kehidupan layak dan juga mendapatkan hak-hak yang memang sama dan sesuai dengan yang dijanjikan. Dan memberikan pilihan hukum yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan hukum jika itu yang harus diambil.

Bagaimana dengan pendidikan hukum olahraga di fakultas hukum?
Itu perlu ada. Kita mulai diskusikan itu di Universitas Indonesia. Fakultas Hukum UI mau membuat jurusan Sports Law. Menurut gue, setelah disksui dan FGD, ke mata kuliah dulu baru ke jurusan. Bertahap.

Tags:

Berita Terkait