UUPM vs. Tanah Untuk Rakyat
Judicial Review:

UUPM vs. Tanah Untuk Rakyat

Baru saja diundangkan, UU Penanaman Modal sudah diajukan uji materiil oleh sekelompok LSM. Mereka menganggap UU Penanaman Modal kelewat liberal dan berpotensi menyengsarakan rakyat.

CRP/Ycb
Bacaan 2 Menit
UUPM vs. Tanah Untuk Rakyat
Hukumonline

Ternyata wewanti dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemarin getol menolak RUU Penanaman Modal bukan isapan jempol. Sebelas LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerak Lawan mengajukan judicial review terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU PM) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Kesebelas LSM itu adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Serikat Tani Nasional (STN), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Suara Hak Asasi Manusia (SHMI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Mereka keberatan dengan muatan UU PM yang dinilai sangat liberal. Menurut Anggota Kuasa Hukum Tim Gerak Lawan Janses E Sihaloho, UU PM cenderung menggadai tanah untuk kepentingan investor semata, menyamaratakan perlakuan antara investor dalam negeri dan asing, bebas memindahkan modalnya kapan saja, hingga impunitas bagi korporasi asing dari nasionalisasi.

 

Dalam permohonannya, mereka meminta MK menguji delapan pasal dalam UUPM, yakni Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2),  Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 22 agar dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Beberapa ketentuan dalam UU ini melanggar demokrasi ekonomi yang diatur Pasal 33 UUD 1945, tandas Janses. Sehingga menurutnya, Hak menguasai Negara (HMN) yang diberikan oleh pasal 33 UUD 45 pada pemerintah menjadi melenceng dari tujuannya, yakni 'sebesar-besar kemakmuran rakyat'. Dari kemakmuran rakyat ini, mereka mengkaitkan pula dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28C UUD 1945. Berapa petani yang akan kehilangan tanah garapan, berapa buruh yang bakal terekploitasi nantinya, ujar Jamses bak berjargon unjuk rasa.

 

Menilik  paparan dalam permohonan mereka, yang paling disorot adalah hak penguasaan tanah bagi investor asing. Perdebatan alot dalam pembentukan UUPM juga konon karena adanya kemungkinan diberikannya Hak Guna Usaha selama jangka waktu hampir seabad (95 tahun). Menurut Jamses, ini sebuah kebijakan yang lebih buruk dibanding zaman kolonial. Agrarische Wet, hukum agraria produk kolonial saja mengatur hak pemakaian tanah hanya selama 75 tahun, tandas Janses.

Pasal 22 UU Penanaman Modal

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:

a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;

b.  Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan

c.  Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

(2)  Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:

a.  penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;

c.  penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;

d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

(3)Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

 

 

 

Dukungan dari anggota DPR

Pengajuan Uji Materiil ini disambut baik oleh salah satu ‘barisan sakit hati' Fraksi PDIP Hasto Kristianto. Anggota Komisi VI DPR yang dulu tergabung dalam Pansus Pembahasan RUU PM itu sudah menyatakan niat berdiri di belakang para pemohon. Kami dari anggota pansus UU ini dulu, kalau diperlukan siap untuk memberikan keterangan, tegasnya.

 

Hasto merupakan anggota Fraksi PDIP, yang selain Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB),  dulu ikut menentang ketentuan pemberian Hak Guna Usaha pada investor yang dianggap berlebihan itu. Dalam pengamatannya, implementasi dari UU PM itu kini muncul  Perpu Nomor 1/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

 

Perpu pengejawantahan  UU PM yang merupakan MoU tentang Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) ini dianggap Hasto cenderung berpihak pada korporasi Singapura dibanding memperhatikan wong cilik. Pembentukan KEKI melalui Perpu, bertentangan dengan konstitusi, ujarnya.

 

Lebih-lebih, lanjut dia, Kalau saya baca juga ada kaitannya dengan kepentingan Pemerintah Singapura untuk jadikan Batam sebagai perluasan kepentingan ekonomi mereka. Sehingga dari sini Hasto hendak menekankan bahwa implementasi UUPM tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah pada kepentingan rakyat kecil, terutama petani.

 

Kesamaan visi ini belum menjadi niatan Janses  menggaet Hasto menjadi saksi dalam persidangan selanjutnya. Tapi Janses mengaku sudah mempertimbangkan dua kubu fraksi yakni FPDIP dan FPKB yang menentang ketentuan tentang HGU 95 tahun. Kalau diajukan sebagai saksi, nanti ada bias kepentingan karena mereka anggota DPR, ikut dalam pembahasan UU itu pula. Nanti malah saksi ditolak MK, katanya. Dalam sidang MK juga bakal digelar pendengaran keterangan dari pihak DPR-Pemerintah, saksi dan ahli.

 

Namun Janses mengaku hendak menggunakan risalah sidang Pansus UUPM. Dari situ, nantinya bisa diambil  sejumlah argumen-argumen anggota DPR penentang pasal-pasal yang diuji materiilkan mereka. BPN, meski dari pemerintah, sepanjang untuk menerangkan data-data pendukung yang kami kemukakan, akan kami pertimbangkan untuk dilibatkan, tambahnya.

 

Dihubungi lewat saluran telepon (2/8), dari kubu seberang, Staf Ahli Perundangan Pemerintah dalam Penyusunan UU PM Erman Rajagukguk enggan berkomentar soal Uji Materiil UU yang konon dulu, ia bela di depan parlemen. Saya nanti saja komentarnya. Toh saja juga belum menerima permohonannya, kilasnya.

 

Permohonan Kurang Fokus

Pada sidang pemeriksaan Pendahuluan pada Kamis (2/8) itu, Tim Advokasi Gerak Lawan membawa  pasukan pengunjuk rasa yang membuat sidang makin meriah dengan penjagaan ketat polisi. Sebelumnya pada Kamis (5/7) silam, saat mendaftarkan permohonan Uji Materiil, mereka juga membawa pengunjuk rasa yang berorasi dan beraksi teatrikal pengadilan rakyat di depan gedung baru MK.

 

Panel Hakim Konstitusi menganggap materi permohonan Tim Advokasi Gerak Lawan masih obscuur (kabur). Permohonannya tidak terfokus, muter-muter kemana-mana tidak jelas apa yagn dimaui pemohon,  kata Ketua Panel Hakim Konstitusi Harjono.

 

Menurutnya, dalil  pemohon yang membenturkan UUPM dengan sejumlah Undang-undang (UU) lainnya, seperti UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, dan UU Pokok Agraria (UUPA) justru membuat fokus persoalan menjadi tidak menentu. Pasal mana yang bertentangan dengan UUD 1945 dan segala argumen yang mengaitkan hal itu malah kurang dibahas, tegurnya.

 

Seperti kebiasaan dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Laica Marzuki menyoroti soal legal standing para LSM. Dalam pandangan Laica, harus ada kaitan kerugian konstitusional yang diderita pemohon dengan berlakunya UUPM itu. Ini kok malah seperti karya akademis tapi tidak fokus, kata Laica.

 

Sementara menguatkan komentar kedua hakim lainnya, I Dewa Gede Palguna juga berkomentar sama. General statement mesti disebutkan. Kalau Anda mau memaparkan seperti karya akademis,  tesisnya harus jelas. Ada identifikasi masalah, lalu buat tesisnya. Selain itu, Anda juga terlalu menyepelekan legal standing, tandas Palguna.

 

Lantaran terlalu panjang lebar menasihati pemohon, Palguna sampai mengutip Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK. Maaf, tapi kami (Hakim Konstitusi-red) ini memang diwajibkan oleh Undang-Undang MK untuk memberi nasihat pada pemohon mengenai kejelasan dan kelengkapan permohonan yang diajukan, tuturnya. Sebab, lanjutnya, Nanti jangan sampai MK menyatakan N/O (niet ontvankelijk verklaard-red) hanya karena permohonannya kabur.

Tags: