UU Sekuritisasi Diperlukan untuk Jamin Hak Rakyat Atas Tempat Tinggal
Berita

UU Sekuritisasi Diperlukan untuk Jamin Hak Rakyat Atas Tempat Tinggal

KPR belum menyentuh masyarakat menengah ke bawah.

RZK
Bacaan 2 Menit
Kampus UGM. Foto: http://ugm.ac.id
Kampus UGM. Foto: http://ugm.ac.id
Pemukiman kumuh masih menjadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar di Indonesia. Kondisi ini menggambarkan pemenuhan hak rakyat atas tempat tinggal sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 masih memprihatinkan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah diminta melakukan terobosan.

“Pemerintah hendaknya memperkenalkan program KPR (kredit pemilikan rumah) khusus bagi masyarakat yang selama ini belum terlayani oleh perbankan,” papar Erica Soeroto saat mempertahankan disertasinya dalam Ujian Terbuka Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (15/6).

Selama ini, kata Erica, memiliki rumah bak impian bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini terjadi karena sebagaimana terungkap dalam studi yang dilakukan United Nation-Habitat, pembiayaan perumahan di Indonesia belum berfungsi dengan baik. Perbankan, menurut Erica, umumnya tidak melayani segmen masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Erica mengatakan persoalan terbatasnya penyaluran KPR yang dialami Indonesia sebenarnya lazim dijumpai di negara-negara berkembang. Faktor penyebabnya antara lain maturity mismatch atau ketidakserimbangan aset dan kewajiban yang dihadapi perbankan, regulasi yang belum memadai, akses dana jangka panjang yang terbatas, dan juga keterbatasan lembaga penyalur KPR.

"KPR yang berjalan selama ini belum berhasil mengatasi pemerataan kepemilikan rumah yang diharapkan UUD 1945, hati kecil saya mengatakan kita harus berbuat sesuatu agar mereka mendapat kesempatan yang sama (dalam kepemilikan rumah, red) seperti yang lain," kata Erica.

Dipaparkan Erica, pemerintah sempat berupaya mengatasi persoalan pembiayaan perumahan dengan mengkaji kemungkinan penerapan secondary mortgage market (SMM) atau pasar jual beli piutang KPR. Namun kajian yang dilakukan sebuah kelompok kerja yang dibentuk Menteri Keuangan pada tahun 1993 menyimpulkan Indonesia belum siap mengembangkan SMM.

Pada akhirnya, pemerintah membentuk secondary mortgage institution dengan nama PT Sarana Multigriya Finansial dengan kegiatan utama memfasilitasi proses transformasi aset non likuid menjadi likuid - atau dikenal dengan istilah sekuritisasi -, dengan cara membeli piutang KPR, kemudian menerbitkan surat partisipasi atau menunjuk special purpose vehicle (SPV) yang membeli piutang KPR dan menerbitkan surat utang beragun piutang KPR.

Dalam disertasinya yang berjudul “Pengembangan Surat Utang Beragun Piutang Kredit Pemilikan Rumah”, Erica berpendapat surat utang beragun piutang KPR merupakan jenis efek yang memiliki risiko jauh lebih rendah dari surat partisipasi. Makanya, Erica merekomendasikan agar surat utang beragun piutang KPR dapat lebih dikembangkan.

“Komitmen pemerintah untuk menyediakan regulasi yang mendukung sekuritisasi belum memadai,” ujar Erica.

Berprofesi sebagai konsultan pembiayaan real estate, Erica mendorong terbentuknya UU Sekuritisasi untuk mendukung pengembangan surat utang beragun piutang KPR melalui SPV berbentuk trust. Definisi trust adalah hubungan kepercayaan yang mengandung unsur pengawasan dan perlindungan terhadap trust asset untuk kepentingan penerima manfaat.

Bertindak sebagai promotor, Prof Nindyo Pramono memuji gagasan yang dilontarkan Erica melalui disertasinya. Menurut Prof Nindyo, apa yang digagas Erica memiliki tujuan mulia karena memikirkan kepentingan masyarakat yang selama ini belum merasakan manfaat KPR.

“Satu tujuan yang sangat mulia, saudara (Erica) memikirkan karyawan-karyawan pinggiran yang belum tersentuh program KPR, bisa mendapatkan fasilitas perumahan dengan risiko yang lebih rendah,” papar Prof Nindyo.

Meskipun memuji, Prof Nindyo tetap mempertanyakan realisasi dari gagasan Erica. “Apakah bisa diimplementasikan di Indonesia, dalam jangka waktu dekat atau jangka waktu tertentu?” tanya Prof Nindyo.

Menjawab pertanyaan tersebut, Erica berpendapat implementasi dari pengembangan surat utang beragun piutang KPR sangat tergantung pada komitmen dari pemerintah.

Untuk diketahui, berdasarkan penelusuran hukumonline, sekira tahun 2005, proses pembahasan RUU Sekuritisasi telah berjalan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM.
Diunduh dari laman www.djpp.kemenkumham.go.id, naskah RUU Sekuritisasi terdiri dari enam bab dan 32 pasal. Namun, RUU tersebut tidak berlanjut ke parlemen, dan bahkan tidak tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019.
Tags:

Berita Terkait