UU Ratifikasi Piagam ASEAN Diuji ke MK
Berita

UU Ratifikasi Piagam ASEAN Diuji ke MK

Pengujian terkait pemberlakuan ACFTA.

ASh
Bacaan 2 Menit
UU Ratifikasi piagam ASEAN di uji di Mahkamah Konstitusi.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
UU Ratifikasi piagam ASEAN di uji di Mahkamah Konstitusi.<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

 

Bersamaan dengan pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-18, dasar hukum ratifikasi ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dipersoalkan. Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global mendaftarkan permohonan uji materi UU No 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/5).

 

Mereka menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas merugikan industri dan perdagangan nasional, karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN. Pendaftaran pengujian undang-undang itu diwarnai juga aksi unjuk rasa di sekitar Gedung MK.  

 

Aliansi yang tercatat sebagai pemohon adalah Institute for Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi Pembela Perempuan Usaha Kecil, dan Koalisi Anti Utang.

 

Salamuddin Daeng dari dari Institute for Global Justice mengatakan para pemohon ingin menguji Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Piagam ASEAN. Pasal 1 ayat (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Pasal itu  yang menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar kawasan.  

 

“Kita meminta agar undang-undang ini dibatalkan MK karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dimana perekonomian tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar. Jika undang-undang ini dibatalkan secara otomatis seluruh kesepakatan Indonesia di tingkat ASEAN yang bersifat legally binding batal demi hukum,” kata Salamuddin.

 

Ia menegaskan jika Mahkamah membatalkan beleid itu, Indonesia tidak lagi terikat dengan Piagam ASEAN yang merugikan kepentingan nasional itu. “Jika undang-undang ini dibatalkan kita tidak lagi terikat dengan semua perjanjian perdagangan bebas yang disepakati di tingkat ASEAN seperti ACFTA, ASEAN-Korean Free Trade Aggreement, ASEAN-Ausralian Free Trade Agreement,” ujarnya.

 

Menurutnya, meski undang-undang ini berlaku sejak tahun 2008, tetapi kesepakatan Free Trade Agreement (FTA) baru berlaku Januari 2010. Melalui FTA diberlakukan juga seluruh kesepakatan komprehensif dengan agenda penurunan tarif perdagangan bebas dengan sejumlah negara ASEAN. Jika undang-undang ini dibatalkan potensi kerugian dalam industri nasional tidak akan terjadi.”       

 

Ia mengungkapkan pengalaman pemberlakukan ACFTA berdampak sekitar 145 ribu tenaga kerja di-PHK selama pada periode 2006-2008. “Selain itu sekitar 1600 perusahaan manufaktur dan industri Indonesia bangkrut seketika akibat pasar Indonesia diserang produk impor murah dari Cina,” beber Salamuddin. “Sepanjang 2005-2010 impor Cina meningkat 226 persen yang mengakibatkan defisit mencapai AS$8,2 miliar yang menggerus cadangan devisa nasional.”

 

Dampak lainnya, lanjutnya, jutaan petani dirugikan akibat impor pangan dan jutaan kaum miskin kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar. “Sementara kekayaan alam nasional, perusahaan nasional, bank-bank nasional dan BUMN sedikit demi sedikit jatuh ke tangan asing,” ungkapnya.

 

Salamuddin menambahkan bahwa saat ini negara-negara maju tengah mengincar sumber daya alam dan pasar ASEAN. Caranya, dengan memaksakan utang dan bantuan lewat pembentukan peraturan dan kebijakan ASEAN sesuai kepentingan negara-negara maju, perusahaan multinasional, dan lembaga keuangan global.

 

 

Tags: