UU Praktik Kedokteran Lindungi Masyarakat
Berita

UU Praktik Kedokteran Lindungi Masyarakat

Saksi berharap profesi tukang gigi dibina dan diawasi untuk menjadi mitra pemerintah.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK gelar sidang pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: ilustrasi (Sgp)
MK gelar sidang pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: ilustrasi (Sgp)

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang dimohonkan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan H. Hamdani Prayogo (tukang gigi. Kali sidang mengagendakan mendengar keterangan pemerintah dan sejumlah saksi yang dihadirkan pemohon.


Dalam keterangannya, pemerintah menyimpulkan bahwa kedua pasal yang dimohonkan pengujian itu tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1), (2), (3) UUD 1945.


“Justru kedua pasal itu bertujuan memberikan perlindungan umum kepada setiap orang dari praktik dokter/dokter gigi yang tidak berkualitas/cakap dalam menggunakan alat, metode,  atau cara lain dalam memberikan layanan kesehatan. Karena itu, kedua pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945,” kata Staf Ahli Menkes, Prof Agus Purwadianto dalam sidang pleno pengujian UU Praktik Kedokteran di ruang sidang MK, Selasa (12/6).


Agus menegaskan, pengaturan pelayanan kesehatan gigi justru melindungi/mencegah masyarakat dari praktik pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu. Sebab, pekerjaan kedokteran gigi merupakan pekerjaan yang berisiko, sehingga hanya dapat dilakukan tenaga yang berkompeten dan berwenang, kecuali ada pelimpahan yang merujuk aturan yang berlaku.


“Jadi, pekerjaan kedokteran gigi di luar yang ditentukan undang-undang tidak diperbolehkan karena masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dari tenaga tenaga kesehatan yang bermutu yang memiliki pendidikan formal, surat registrasi, dan surat izin praktik. Aturan itu bentuk tanggung jawab pemerintah menjamin perlindungan kesehatan masyarakat sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” tutur Agus.                            


Karena itu, bagi dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan izin praktik seperti diatur dalam Pasal 29- Pasal 42 UU Praktik Kedokteran juga akan dikenai sanksi berdasarkan Pasal 75 dan Pasal 76. Adanya syarat registrasi dan izin justru telah membatasi ruang gerak dokter/dokter gigi lulusan perguruan tinggi, hal mana aturan itu juga berlaku bagi tukang gigi yang keahliannya hanya diperoleh secara turun-temurun.       


“Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran telah memenuhi asas lex certa (kepastian hukum) dan lex certain (asas kejelasan/ketegasan), sehingga tidak perlu ditafsirkan lain oleh MK,” ujarnya.


Sementara, saksi Mohammad Jufri merasa puas selama menjalani profesi tukang gigi sejak tahun 1978. Ia merasakan betul profesi keahlian tukang gigi sangat dibutuhkan masyarakat. “Ada konsumen yang setelah masang gigi tiruan bilang, ‘berkat Anda saya tampil percaya diri kembali dan bisa makan enak’. Saya juga mengajari teman-teman, famili untuk menjadi tukang gigi dan sukses,” tutur pria warga Bandung ini.


Diakuinya, tukang gigi tak harus menempuh pendidikan formal, modalnya hanya keseriusan dan keuletan dapat menghasilkan 2-3 juta per bulan. Makanya, tak heran profesi tukang gigi menjamur yang diperkirakan 75 ribu orang yang sebagian menginduk ke organisasi ASTAGIRI, PTGI, ITGI.


Jufri berharap profesi tukang gigi dibina, diawasi untuk menjadi mitra pemerintah dalam membantu pemerataan akan kebutuhan masyarakat golongan kurang mampu terhadap layanan gigi tiruan. Misalnya, memperbanyak pelatihan, adanya sertifikasi izin praktik. “Jadi, tidak adil jika profesi ini dilarang sesuai Permenkes No.1871/Menkes/Per/X/2011,” katnya.                          


ASTAGIRI dan Hamdani merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya kedua pasal yang mengatur larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang melakukan praktik seolah-olah seperti dokter atau dokter gigi itu. Kedua pasal itu bersifat dan diskriminatif dan multitafsir, bisa diartikan sangat luas jika ada bidang pekerjaan mirip dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah melakukan praktik kedokteran.


Menurut pemohon, berlakunya kedua pasal tidak hanya mengancam penghasilan tukang gigi yang jumlah mencapai 75 ribu orang, juga mengancam profesi lain yang sejenis. Sebab, frasa “setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain…” dalam Pasal 73 ayat (2) bisa diartikan mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut patah tulang, tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik, penjual jamu, dukun beranak.


Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran ini karena bertentangan dengan UUD 1945. Atau, Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 itu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali sepanjang dimaknai alat, metode, atau cara lain tersebut bersifat tradisional, atau diakui secara turun-temurun, dan atau telah lazim diterima secara umum, bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi.

Tags: