UU PPMI Belum Berdampak Signifikan Lindungi TKI
Berita

UU PPMI Belum Berdampak Signifikan Lindungi TKI

Pemerintah dituntut serius implementasikan UU PPMI.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Pos lapor TKI di bandara. Foto: MYS
Pos lapor TKI di bandara. Foto: MYS

Sebagai upaya melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi seperti UU No.6 Tahun 2012 tentang ratifikasi Konvensi PBB 1990, dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Tapi terbitnya sejumlah peraturan itu belum berdampak signifikan terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Koalisi organisasi masyarakat sipil mencatat dalam sepekan terakhir pemerintah Indonesia menerima tiga jenazah  pekerja migran yang tewas di negara penempatan.

 

Project Manager ASEAN dan HAM HRWG, Daniel Awigra, mengatakan salah satu buruh migran yang tewas bernama Milka Bumiao, seorang buruh migran asal NTT yang tewas di Malaysia. Koalisi dan keluarga korban merasa kematian Milka janggal. Milka diduga kuat jadi korban perdagangan orang karena umur dan tanggal lahirnya dipalsukan sehingga memenuhi syarat untuk bekerja ke luar negeri.

 

Pria yang disapa Awi itu berpendapat sebaik apapun pemerintah membuat norma yang tertuang dalam regulasi tidak akan berjalan jika tidak dilaksanakan serius. Menurutnya kemauan politik pemerintah untuk menjalankan amanat Konvensi PBB 1990 dan UU PPMI masih rendah. "Pelaksanaannya sekarang belum cukup untuk menjamin tidak terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjerat buruh migran. Identitas mereka masih rentan dipalsukan," katanya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (28/3).

 

Koalisi yang terdiri dari HRWG, LBH Jakarta, Seknas Jaringan Buruh Migran, Serikat Buruh Migran Indonesia, dan Sekretaris Komisi Kesetaraan Gender akan meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan cara audiensi sejumlah lembaga. Persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia cukup panjang, mulai dari proses perekrutan sampai kondisi kerja di negara penempatan.

 

(Baca juga: ASEAN Sepakati Konsensus Perlindungan Buruh Migran)

 

Menurut Awi wacana pemerintah untuk moratorium penempatan buruh migran Indonesia ke Malaysia tidak tepat, apalagi sampai ada pemutusan hubungan diplomatik. Upaya yang perlu dilakukan Indonesia dan Malaysia yakni melakukan pembahasan ulang dalam perlindungan dan penempatan buruh migran. Pemerintah Indonesia perlu membenahi seluruh proses mulai dari rekrutmen sampai penempatan. Selaras itu pemerintah Malaysia harus menerbitkan kebijakan yang tidak diskriminatif terhadap buruh migran, melindungi dan menghukum pelaku perdagangan orang.

 

Awi yakin buruh migran berkontribusi terhadap kemajuan perekonomian Malaysia. Sebagian besar buruh migran Indonesia di Malaysia bekerja di sektor konstruksi, perkebunan dan domestik. Ironisnya, Malaysia menggunakan perspektif keliru dalam melihat posisi buruh migran sehingga tidak mengenali hak-hak buruh migran dan keluarganya. Upaya lain yamg bisa digunakan untuk mendesak Malaysia agar serius melindungi buruh migran yakni melalui mekanisme Universal Periodic Review di PBB.

 

Terancam Hukuman Mati

Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan timwas PPMI di gedung DPR/MPR Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, menegaskan pemerintah terus memperkuat pelindungan terhadap buruh migran Indonesia. Periode 2011-2018 tercatat ada 102 kasus buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati, 79 kasus di antaranya berhasil dibebaskan dari hukuman mati.

 

Hanif menekankan pada intinya pemerintah melakukan segala upaya untuk melindungi buruh migran dari hukuman mati. Mulai dari pendekatan hukum, pendampingan, diplomasi, dan meminta pengampunan. "Semuanya telah dilakukan pemerintah," paparnya.

 

Mengenai peraturan pelaksana UU PPMI Hanif menjelaskan sampai saat ini pemerintah masih melakukan penyempurnaan terhadap rancangan tersebut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ada 12 peraturan turunan yang akan diterbitkan antara lain tiga rancangan Peraturan Pemerintah (PP) yakni tentang Pelaksanaan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) serta Penempatan dan Pelindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Ada juga dua Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan dan Badan Pelayanan dan PPMI; dan empat Peraturan Menteri dan tiga Peraturan Kepala Badan.

 

Terpisah, Ketua DPR, Bambang Soesatyo, dalam keterangan pers mengatakan pemerintah pusat dan daerah perlu mengidentifikasi daerah yang rawan TPPO. Daerah yang rawan itu patut memiliki satuan tugas (satgas) yang berfungsi menangani mafia atau sindikat pelaku TPPO. "Selama ini, banyak warga menjadi korban TPPO karena minimnya perlindungan dari pemerintah," ujarnya.

 

(Baca juga: Perdagangan Orang, Korupsi, dan Kekerasan Seksual Dominasi Permohonan ke LPSK)

 

Bambang menilai upaya pemerintah mencegah TPPO belum berjalan efektif sekalipun telah membentuk Rencana Aksi Nasional Pemberantasan TPPO 2015-2019. Oleh karenanya melalui Satgas diharapkan mampu memantau perekrutan calon PMI, dan mencegah perekrutan yang tidak prosedural.

Tags:

Berita Terkait