UU Perlindungan Pekerja Migran Atur Sanksi yang Lebih Berat
Utama

UU Perlindungan Pekerja Migran Atur Sanksi yang Lebih Berat

Menaker sebut tujuh substansi penting UU PPMI.

Ady TD Achmad/MYS
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Pemerintah Kesulitan Menyusun Komponen Biaya Penempatan Burug Migran).

 

Menteri Hanif menegaskan UU PPMI menempatkan pekerja migran Indonesia sebagai subjek yang diselenggarakan secara terintegrasi dan bersinergi dengan pemangku kepentingan. Upaya itu akan dilakukan mulai dari pemberian dan peningkatan kompetensi calon pekerja migran sampai pemberdayaan ekonomi dan sosial ketika kembali ke kampung halaman atau setelah bekerja.

 

Terpisah, Jaringan Buruh Migran (JBM) melihat ada perubahan signifikan antara ketentuan yang diatur UU PPMI dengan UU PPTKILN. Tapi, masih ada celah yang luput dari perhatian pemerintah dan DPR. Sekretariat Nasional JBM, Savitri Wisnuwardhani, mengatakan sebagian substansi yang perubahannya signifikan yaitu defenisi buruh migran dan anggota keluarga telah sesuai Knvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya. Konvensi itu masuk dalam konsideran sehingga pengakuan hak buruh migran lebih banyak ketimbang sebelumnya seperti kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi, dan hukum. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah. sebelumnya diselenggarakan perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia (PJTKI/PPTKIS), sehingga peningkatan keterampilan itu hanya formalitas.

 

(Baca juga: RUU PPILN Masuk Prioritas, Bagaimana UU Ketenagakerjaan?)

 

Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan dilakukan dari desa. Ada kejelasan pembagian kewenangan antara operator dan regulator (Kementerian dan Badan), serta pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah. Asuransi yang selama ini dikelola melalui pembentukan konsorsium sekarang oleh BPJS dalam bentuk jaminan sosial.

 

Pelayanan LTSA ada di tingkat daerah, sehingga calon pekerja migran tidak perlu jauh ke pusat. Kemudian menghapus KTKLN yang selama ini jadi alat pemerasan kepada pekerja migran. Memperkuat peran atase ketenagakerjaan di luar negeri dan berwenang melakukan verifikasi terhadap agen dan calon pemberi kerja. Tak kalah penting, pengurangan peran PJTKI/PPTKIS. “UU PPMI juga mengatur tentang sanksi yang bisa dijatuhkan kepada korporasi dan pejabat,” kata Savitri.

 

Salah satu celah yang dicatat JBM adalah mekanisme penempatan harus melalui PJTKI/PPTKIS. Pekerja migran sektor domestik belum bisa menggunakan jalur mandiri. Perjanjian kerja belum memastikan bisa berlaku di kedua negara dan penyelesaian sengketa tidak memasukan quasi peradilan.

 

Savitri juga menyebut jaminan sosial belum mencakup resiko yang sering dialami buruh migran seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan upah tidak dibayar. Pelibatan masyarakat sangat lemah karena dalam pelaksanaan pengawasan perlindungan pemerintah ‘dapat’ melibatkan masyarakat.

 

Perihal sanksi juga masih ada celah misalnya, sebagian sanksi tidak mencantumkan hukuman minimal sehingga sangat tergantung putusan hakim. Korban juga berpeluang dijatuhi sanksi, dan pengurus korporasi tidak dipidana. Bantuan hukum diatur dalam hak, tapi tidak diatur dalam bab khusus sehingga tidak dijelaskan mekanismenya. Padahal perlu dijelaskan bagaimana cara mengakses bantuan hukum, lembaga mana yang dituju, berapa lama penyelesaian sengketa, dan bagaimana pendampingan pengacara.

Tags:

Berita Terkait