UU Perlindungan Anak Buka Ruang Korban Ajukan Restitusi
Utama

UU Perlindungan Anak Buka Ruang Korban Ajukan Restitusi

Dapat diajukan setelah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
DPR telah menyetujui Revisi Undang-Undang (RUU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang. Setidaknya, regulasi baru itu menjadi angin segar bagi korban tindak kekerasan terhadap anak, yakni dapat mengajukan hak restitusi ke pengadilan. Hal ini dikatakan mantan Wakil Ketua Komisi VIII periode 2009-2014, Ledia Hanifa Amalia di Gedung DPR.

UU tentang Perlindungan Anak hasil revisi memang memiliki langkah maju terkait dengan restitusi. Berbeda dengan UU sebelumnya, UU hasil revisi tersebut membuka peluang korban atau ahli waris mengajukan hak ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Tentunya, pengajuan hak restitusi dapat diajukan merujuk pada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Hak ganti kerugian berupa materil dan atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya.

“Langkah maju dan berani dalam RUU tentang Perubahan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tentunya menjadi sangat penting dalam peningkatan perlindungan dan pemenuhan hak anak adalah dengan memasukan substansi terkait restitusi,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, hak restitusi khusus diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, korban eksploitasi secara ekonomi, seksual, korban pornografi, korban  penculikan, perjualan anak, korban kekerasan fisik dan atau psikis, serta anak korban kejahatan seksual.

Aturan hak atas restitusi diatur dalam Pasal 71D. Pasal 71D ayat (1) menyebutkan, “Setiap anak  yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab pelaku kejahatan”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana diatur pada ayat (1) dengan Peraturan Pemerintah,”.

Aturan tersebut juga mengatur fokus penguatan serta perluasan ruang lingkup perlindungan khusus sebagaimana tertuang dalam Pasal 59 ayat (2). Menurutnya, jika dalam UU Perlindungan Anak yang lama tidak mencakup lingkup substansi materi. Misalnya, anak korban kejahatan seksual, anak korban pornografi, anak korban HIV/AIDS, anak korban jaringan terorisme, anak dengan perilaku sosial menyimpang, serta anak yang menjadi  korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya.

“Dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan khusus dirumuskan pada setiap ayat (1) adalah rumusan  yang berkaitan dengan upaya pemberian perlindungan untuk semua cakupan ruang lingkup dari perlindungan khusus,” ujarnya.

Dalam meningkatkan perlindungan hak anak, UU tersebut memperberat  sanksi hukuman terhadap orang yang melanggar hak anak. Oleh sebab itu, kata Ledia, perlu adanya perbaikan  substansi ketentuan pidana agar lebih tegas, tidak multitafsir, dan menimbulkan efek jera bagi pelaku.

“Serta memperberat hukuman bagi pihak-pihak terdekat dengan anak,” ujarnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amaliasari Gumelar mengamini pandangan Leida. Ia berpandangan UU No.23 Tahun 2002 sudah tidak memadai dengan perkembangan kejahatan terhadap anak. Menurutnya, perlindungan anak dilandasi atas prinsip non diskriminasi.

“Namun dalam perjalanannya belum berjalan secara efektif karena tumpang tindih peraturan dan perundangan, tapi tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan anak,” ujarnya.

Ia berpadangan, UU tentang Perlindungan Anak hasil revisi akan menjadi instrumen hukum yang kuat dalam perlindungan anak. Selain itu, memungkinkan kerjasama dengan pihak internasional dalam perlindungan anak. UU tentang Perlindungan Anak hasil revisi dibangun menjadi payung hukum yang bersifat lex specialis.

“RUU ini memberikan penjelasan terhadap optimalisasi penyelenggaraan perlindungan anak, memberikan peluang dalam pengaturan teknis perlindungan anak. UU ini memberikan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan anak, memperberat pelaku lain dan pelaku orang dekat korban, kemudian adanya restitusi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait