UU Penodaan Agama Diuji ke Mahkamah Konstitusi
Berita

UU Penodaan Agama Diuji ke Mahkamah Konstitusi

UU No. 1/PNPS/ 1965 ini sempat menjadi perdebatan ketika pemerintah melarang Ahmadiyah. Pengacara Publik LBH Jakarta mengatakan pendaftaran pengujian UU ini memang menunggu tensi publik 'cooling down'.

Ali
Bacaan 2 Menit
UU Penodaan Agama Diuji ke Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Sejumlah aktivis kebebasan beragama akhirnya menepati janjinya. Mereka secara resmi mendaftarkan pengujian UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta agar seluruh isi pasal dalam UU itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Para aktivis itu di antaranya, Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo dan Maman Imanul Haq.

 

Salah seorang kuasa hukum Pemohon, Febi Yonesta mengamini permohonan pengujian UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu telah didaftarkan. “Kami telah mendaftarkan bulan Oktober lalu,” ujar Anggota Tim Advokasi Kebebasan Beragama ini kepada hukumonline, Senin (9/11).

 

Salah satu ketentuan yang diuji adalah Pasal 1. Ketentuan itu berbunyi 'Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu'.

 

Pasal inilah yang kerap digunakan pemerintah untuk melarang sejumlah aliran keagamaan yang dianggap melenceng dari agama resmi yang telah ditetapkan pemerintah. Kasus yang sempat mencuat adalah kasus Ahmadiyah. “Pasal itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi,” tutur Febi.

 

Ia menunjuk ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya.

 

Selain menguji Pasal 1, pemohon juga meminta agar MK membatalkan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4. Ketentuan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 ini memberlakukan sebuah ketentuan dalam KUHP. Yakni, Pasal 156a KUHP yang mencantumkan ancaman hukuman bagi siapa saja yang melakukan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara. “Bila Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 itu dibatalkan, otomatis Pasal 156a KUHP juga dibatalkan,” ujar Febi.

 

Dalam permohonannya, pemohon juga mengutarakan bahwa UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam konvensi yang telah diratifikasi Indonesia itu dinyatakan kebebasan memeluk agama merupakan jenis hak asasi yang tidak dapat dibatasi oleh apapun. 

 

Namun, pendapat ini pernah dibantah oleh Tim Pengacara Muslim (TPM). Anggota TPM Mahendradatta meminta agar para pendukung aliran sesat melihat Pasal 18 ayat (3) ICCPR. Ketentuan itu menyatakan kebebasan beragama dapat dibatasi oleh hukum dalam rangka melindungi keselamatan publik, kesehatan, hak-hak fundamental dan kebebasan pihak lain.

 

Mahendradatta bahkan sempat menantang agar perdebatan itu dilakukan di forum Mahkamah Konstitusi. “Apabila masih ada pihak yang membela aliran-aliran sesat dengan dalil HAM, tidak usah banyak omong. Segera lakukan tindakan hukum yakni mengajukan judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi,” tantangnya, kala itu.

 

Tantangan itu pun sudah dijawab oleh pemohon dengan mengajukan permohonan ini. Febi pun mempersilahkan bila ada pihak yang berseberangan dengan kubunya  mengajukan diri sebagai pihak terkait di sidang MK. “Biar perdebatan berlangsung di ruang sidang,” ujarnya. Ia meminta agar tak perlu ada intervensi atau desakan massa dari luar sidang.

 

Sekedar mengingatkan, janji sejumlah aktivis untuk membawa UU ini ke MK memang sudah lama. Berdasarkan catatan hukumonline, LBH Jakarta sudah sempat menyatakannya sejak empat tahun lalu. Isu ini semakin kencang begitu kasus pelarangan Ahmadiyah mencuat. Lalu, mengapa baru sekarang UU ini diuji ke MK? Febi mempunyai alasan sendiri.

 

Menurut Febi, ada dua alasan para pemohon. Pertama, alasan substansi. “Kami harus mendalami argumentasinya dari berbagai sumber,” ujarnya. Sedangkan alasan yang tak kalah penting adalah alasan strategi. Menurutnya, bila didaftarkan ketika kasus Ahmadiyah mencuat, resistensi masyarakat sangat kuat. “Kami khawatir hakim MK tidak objektif menilai UU ini karena ditekan oleh masyarakat,” tambahnya.

 

Febi mengatakan saat ini tensi masyarakat terhadap kasus aliran sesat sudah mulai menurun. Ia pun tak khawatir bila permohonan ini seakan kehilangan momentum. “Biarkan saja. Kami kan tidak sedang mencari-cari publisitas,” pungkasnya.

Tags: