UU Pengadilan HAM Perlu Direvisi
Berita

UU Pengadilan HAM Perlu Direvisi

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Adhoc Timor Timur harus direvisi. Karena ternyata dalam penyusunannya, banyak meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Statuta Roma. Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dikurangi dan hukum acaranya tidak diadopsi sama sekali.

MYs/APr
Bacaan 2 Menit
UU Pengadilan HAM Perlu Direvisi
Hukumonline

Kenyataan tersebut diduga berpengaruh terhadap lolosnya kebanyakan terdakwa kasus pelanggaran HAM berat di Timtim. Sejauh ini, baru satu orang yang dinyatakan bersalah oleh majelis hakim adhoc PN Jakarta Pusat. Ke depan, hakim mestinya tidak melulu berpatokan kepada hukum acara pidana Indonesia (KUHAP).

 

Demikian benang merah penjelasan ahli hukum pidana Prof. Muladi kepada wartawan usai tampil sebagai saksi ahli dalam kasus Timtim dengan terdakwa mantan Danrem 164/Wiradharma Dili, Brigjen M. Nur Muis. Guru besar Universitas Diponegoro Semarang itu mengungkapkan bahwa pembuat undang-undang mengurangi beberapa point penting aturan Statuta Roma saat diadopsi ke dalam UU No. 26.

 

Misalnya, dalam Statuta Roma sudah ada panduan hukum acara pengadilan HAM. Tetapi oleh UU No. 26, ketentuan itu diabaikan sama sekali. Hukum acara yang berlaku untuk kasus pelanggaran HAM berat Timtim adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Sehari sebelumnya, seorang hakim ad hoc HAM Timtim mengungkapkan hal serupa. Menurut hakim yang enggan disebut namanya itu, hakim-hakim karier yang memimpin dan mendominasi sidang sangat terpaku kepada aturan KUHAP. Sehingga, ketentuan-ketentuan universal seperti Statuta Roma diabaikan. Akibatnya, para terdakwa menjadi lolos.

 

Namun, Muladi tidak mau mempersalahkan hakim. Bisa jadi, putusan hakim memang sudah benar karena sesuai dengan UU No. 26 dan KUHAP. Masalahnya bisa lain kalau misalnya UU No. 26 secara lengkap mengadopsi ketentuan-ketentuan Statuta Roma maupun konvensi dan kebiasaan internasional di bidang pengadilan HAM. Pengadilan Rwanda, Yugoslavia dan Jepang bisa dijadikan contoh. 

 

Pandangan Muladi ini agaknya berbeda dengan kesimpulan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam). Dalam catatan akhir tahun 2002, Elsam memandang bahwa perangkat hukum yang tersedia (UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000, misalnya) sudah cukup memadai untuk menjerat para pelaku pelanggaran HAM berat.

 

Harus dibuktikan lebih dahulu

 

Dalam kesaksiannya, Muladi sempat menyinggung pertanggungjawaban komando. Dikatakan bahwa seorang komandan profesional tahu atau seharusnya tahu terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di Timtim. Jika sudah tahu, komandan harus bertindak sesuai standar baku komando militer. "Kalau komandan sudah mengacu pada standar komando, nggak ada masalah," jelasnya di hadapan majelis hakim pimpinan Andriani Nurdin.

 

Komandan bisa dimintai tanggung jawab jika terbukti tidak melakukan upaya pencegahan serta tidak berusaha membawa pelaku kejahatan kepada aparat hukum yang berwenang. Kalau seorang komandan tidak tahu terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, berarti orang tersebut bukan komandan yang baik. Tetapi Muladi mengingatkan bahwa soal tidak mengupayakan pencegahan itu harus betul-betul dibuktikan.

 

Pandangan mantan Menteri Kehakiman itu diamini oleh Yan Juanda Saputra, salah seorang penasehat hukum terdakwa. Yan Juanda menjelaskan bahwa untuk membuktikan terjadinya omisi (pembiaran) oleh seorang komandan, terlebih dahulu harus dibuktikan terjadinya komisi oleh anak buah. "Artinya, komandan baru bisa dimintai tanggung jawab bila kejahatan anak buah terbukti," kata Yan Juanda.

 

Tags: