UU Otsus Papua Bentuk Lembaga Negara Baru
Terbaru

UU Otsus Papua Bentuk Lembaga Negara Baru

Kantor Sekretariat Badan berada di Papua, bukan di Jakarta.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi para mahasiswa asal Papua saat berdemonstrasi di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi para mahasiswa asal Papua saat berdemonstrasi di Jakarta. Foto: RES

DPR dan Pemerintah menyetujui bersama RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi Undang-Undang. Perubahan ini merevisi dan menambah 20 pasal, sebagian besar merupakan usulan DPR. Perubahan tidak hanya menyangkut perpanjangan dan besaran dana otsus, tetapi juga payung hukum pembentukan lembaga bernama Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3).

Pasal 68A Undang-Undang hasil perubahan menegaskan badan khusus ini dibentuk dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi. BKP3 bertanggung jawab langsung kepada presiden. Wakil Presiden ex officio menjadi Ketua BKP3, dan dibantu beberapa anggota yakni menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, dan menteri yang mengurusi keuangan. Ditambah masing-masing satu orang perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua. Ketua dan para anggota ini dibantu Sekretariat BKP3 yang berkantor di Papua. Ketentuan yang lebih lanjut BKP3 diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menjelaskan UU Otsus terbaru juga menegaskan status BKP3 berada di bawah presiden. Ia berharap BKP3 dapat nelakukan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih kuat bagi pembangunan Papua. “Badan khusus ini berada di bawah presiden,” ujarnya dalam rapat paripurna di Komplek Parlemen, Kamis (15/7) kemarin.

Tito menerangkan, pembentukan BKP3 merupakan bagian dalam perbaikan tata kelola otonomi khusus di Papua. Tata kelola itu antara lain rencana induk (grand design) arah pembangunan yang lebih jelas dan terukur, pembagian dana otsus penggunaanya bersifat umum dan berbasis kinerja. Tujuannya agar penggunaan dana otsus lebih fokus dalam mencapai target kiinerja output dan outcome. “Perbaikan tata kelola pemerintahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua,” katanya.

Ketua Pansus RUU Otsus Papua, Komarudin Wakatubun menambahkan, kehadiran BKP3 menjadi instrumen perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua. DPR dan pemerintah menyadari masih banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan berbagai program yang dilakukan berbagai kementerian dan lembaga negara di bumi Cenderawasih itu. Dengan dipimpin Wapres dan beranggotakan menteri, Komarudin berharap, BKP3 dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua. “Pansus memberikan penekanan agar lembaga kesekretariatan berada di Papua. Hal ini juga merupakan simbol menghadirkan Istana di Papua, sebagaimana dicita-citakan Presiden Joko Widodo,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Anggota Komisi I DPR Yan P. Mandenas berpendapat pembentukan badan khusus tersebut dalam melakukan inkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi mengenai pelaksanaan otonomi khusus Papua menjadi harapan dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Setidaknya pelaksanaan Otsus dan pembangunan di Papua dapat semakin terintegrasi dan terarah. Termasuk pengelolaan pemerintahan daerah menjadi lebih transparan dan akuntabel.

Baca:

Peraturan pelaksana

Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Filep Wamafma berpandangan RUU yang baru setujui menjadi UU itu memuat sejumlah terobosan yang berpengaruh luas bagi orang asli Papua untuk maju berkembang, dan menjadi tuan di daerahnya sendiri. Yakni melalui pemberdayaan ekonomi, peningkatan layanan pendidikan, dan peningkatan layanan kesehatan. DPD, kata dia, berkomitmen melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Otsus Papua, dan meminta pemerintah agar segera menyusun Peraturan Pelaksanaan (PP) UU Otsus bagi Provinsi Papua agar dapat segera diimplementasikan dan dirasakan dampaknya bagi masyarakat Papua.

Dia berharap pemerintah dalam penyusunan aturan turunan dapat sesuai dengan target sebagaimana amanat dari UU tersebut, misalnya Pasal 75 ayat (1) yang menyebutkan, “Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

Dalam pembuatan aturan pelaksana itu, pemerintah pusat perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR dan DPD. Konsultasi itu juga perlu melibatkan pemerintah daerah di Papua karena pelaksana otsus di lapangan adalah pemda. Itu sebabnya, senator asal Papua berharap agar penyusunan aturan pelaksana UU hendaknya tetap memperkuat otonomi. “Sebagai Undang-Undang yang bersifat lex spesialis, yang berisikan hal-hal yang sangat baik, tidak akan berarti apabila tidak dapat diimplementasikan,” katanya.

Tito Karnavian berjanji bakal segera menyusun aturan pelaksana UU Otsus bagi Provinsi Papua sebagaimana amanat Pasal 75. Namun demikian, RUU yang baru saja disetujui menjadi UU oleh DPR itu terlebih dahulu bakal disosialisasikan kepada seluruh para pemangku kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Yang tak kalah penting, menyusun peraturan pelaksanaannya.

Harus menguatkan Pemda

Peneliti Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan, aturan pelaksana UU Otsus bagi Papua mesti menguatkan peran dan kewenangan gubernur dalam memaksimalkan pelaksanaan regulasi tersebut. Seperti memberikan kewenangan pada gubernur dalam menyediakan fasilitas pelayanan publik, hingga kewenangan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Termasuk memberikan kewenangan berkaitan dengan hal konkrit lain yang mendukung pembangunan Papua. Misalnya, membuat sekolah khusus pendidikan guru dan pelayanan kesehatan bergerak. Isu lain adalah mengenai hak asasi manusia (HAM) yang selama ini menjadi krusial dalam dinamika sosial politik dan keamanan di tanah Papua.

Menurutnya pemerintah dapat memberi kewenangan dan kekuasaan kepada gubernur untuk menyelesaikan persoalan HAM seperti membentuk Komisi Nasional HAM di Papua atau KKR. Terpenting, hubungan saling bersinergi dengan baik antara para pemangku kepentingan di Papua amatlah dibutuhkan nantinya. “Intinya perlu ada koordinasi, kerjasama, dan sinergi antara seluruh pemerintah daerah yang ada di Papua, bukan saling berkontestasi sendiri,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara. (ANT)

Tags:

Berita Terkait