UU OJK Disarankan untuk Direvisi
Utama

UU OJK Disarankan untuk Direvisi

Terutama soal klausul kelebihan pungutan dan pengawasan OJK.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Perbanas Sigit Pramono. Foto: SGP
Ketua Perbanas Sigit Pramono. Foto: SGP
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikritik. Kritikan tersebut datang dari Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas). Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, menilai ada beberapa klausul di UU OJK yang bisa menjadi bahan revisi oleh pemerintah maupun dewan. Salah satu klausul yang harus direvisi terkait pungutan.

Dalam UU OJK disebutkan, jika terdapat kelebihan atau sisa anggaran pungutan, OJK bisa menyetorkan sisa anggaran tersebut ke kas negara. Padahal, tiap tahun pelaku industri jasa keuangan membayar penuh pungutan OJK tersebut. Jika klausul ini tidak bisa direvisi oleh pemerintahan yang sekarang, maka pemerintahan baru bisa merevisinya.

"Makanya pasal ini harus dikoreksi, dilakukan amandemen oleh pemerintah baru," kata Sigit dalam sebuah seminar bertajuk 'Evaluasi 1 Tahun Menimbang Manfaat OJK' di Jakarta, Senin (23/6).

Revisi pasal ini, lanjut Sigit, lebih kepada memaksimalkan anggaran yang masuk ke OJK. Menurutnya, jika ada sisa anggaran pungutan, maka pada pungutan di tahun anggaran berikutnya dilakukan secara tidak penuh. Jika pungutan yang dilakukan secara penuh, padahal masih ada sisa anggaran, hal tersebut dapat memicu terjadinya moral hazard.

"Ada moral hazard yang tidak hemat, orang cenderung habiskan anggaran daripada diberikan ke kas negara," kata Sigit.

Bukan hanya itu, ia mengatakan, pungutan tersebut dapat berdampak pada meningkatnya cost of fund sehingga beban yang dirasakan masyarakat semakin besar. Perbanas memperkirakan, pungutan yang diberikan industri perbankan ke OJK setahun sekitar Rp2,23 triliun.

Revisi berikutnya, lanjut Sigit, perlunya lembaga yang khusus mengawasi kinerja OJK. Lembaga pengawas ini perlu diatur secara UU agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya memiliki kekuatan hukum. "Harus ada lembaga yang betul-betul yang mengawasi dan punya kekuatan secara UU," katanya.

Chairman ASEAN Competition Institute Soy M Pardede merinci, dalam UU OJK, terdapat berbagai jenis pengawasan. Misalnya, dalam menetapkan anggaran tahunan dan laporan kegiatan triwulanan, pengawasan bisa dilakukan oleh DPR. Sedangkan pengawasan laporan kegiatan tahunan, bisa dilaporkan kepada Presiden.

Berikutnya, pengawasan oleh publik. Pengawasan ini dilakukan melalui laporan keuangan semesteran dan tahunan dan laporan kegiatan bulanan, triwulanan dan tahunan. "Jadi, ada hak publik untuk pertanyakan laporan itu," kata Soy.

Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Franciscus Welirang, menilai seharusnya Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) tetap bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. "Pasar modal Indonesia sudah ada 39 tahun dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Seharusnya Bapepam tetap ada di bawah Menkeu," kata Franciscus yang kerap disapa Franky ini.

Namun, lanjut Franky, yang terjadi malah sebaliknya. Keberadaan Bapepam LK malah masuk seluruhnya ke OJK. Padahal dari sisi aturan, Bapepam LK tetap ada dan mengacu ke Menkeu. "Harusnya Bapepam tetap ada. Kalau UU BI jelas tentang keberadaan BI. UU OJK tidak sinkron dengan UU Pasar Modal," katanya.

Mengenai pungutan, Franky juga mengkritik. Menurutnya, tak semua pihak yang berkecimpung di pasar modal seluruhnya berkaitan dengan sektor jasa keuangan yang harus dipungut oleh OJK. Misalnya saja, pungutan yang dikenakan kepada emiten berkaitan penjualan saham. Walau begitu, pihaknya tetap melaksanakan amantan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah tersebut.

"Kami rela bayar, kalau kami sah di sektor keuangan. Yang benar-benar di sektor keuangan saja tidak setuju dengan pungutan. Kalau begini, bisa saja kami mendaftar di pasar modal Singapura," kata Franky.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto mengapresiasi seluruh kritikan yang ditujukan kepada OJK. Menurutnya, kritikan-kritikan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kinerja OJK ke depannya.
Ia mengatakan, lahirnya OJK untuk mencegah terjadinya krisis. Antisipasi tersebut bisa dilaksanakan jika koordinasi antar sektor keuangan berjalan dengan lancar. Atas dasar itu, OJK mengedepankan pengawasan yang terintegrasi di sektor jasa keuangan.

Terkait usulan revisi UU OJK, Rahmat menilai hal ini harus dibicarakan terlebih dahulu dengan pemerintah dan DPR. "Substansi harus dibahas secara bersama-sama sehingga ambil kesimpulan lakukan amandemen. Pemerintah dan DPR pihak berperan dalam lakukan amandemen terhadap produk-produk legislasi yang sudah dihasilkan. OJK sangat mendukung aspirasi yang ada," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait