UU Mata Uang Rugikan Advokat
Utama

UU Mata Uang Rugikan Advokat

Pembahasan UU Mata Uang seharusnya melibatkan pihak terkait, termasuk kalangan advokat.

Abdul Razak Asri/M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

“Semoga undang-undang ini dapat meningkatkan martabat bangsa di tingkat nasional maupun internasional,” ujar Agus menyampaikan harapan Pemerintah terhadap UU Mata Uang.

 

Tidak termasuk jasa

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, UU Mata Uang memberikan beberapa pengecualian terkait kewajiban penggunaan Rupiah. Pengecualian itu tidak melingkupi transaksi yang berkaitan dengan jasa. Hal ini ditegaskan oleh Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis ketika dihubungi hukumonline, Rabu (1/6). Dengan kata lain, transaksi jasa hukum yang terjadi di wilayah Indonesia juga wajib menggunakan Rupiah.

 

“Ya, jasa pengacara juga harus dibayar dengan Rupiah,” kata Harry menjawab pertanyaan hukumonline.

 

Merespon hal ini, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia Hasanuddin Nasution tegas menyatakan keberatan jika jasa pengacara diwajibkan menggunakan Rupiah. Alasannya, papar Hasanuddin, profesi pengacara adalah profesi trans border atau lintas negara sehingga sangat mungkin bersentuhan dengan unsur asing.

 

“Tidak bisa, kewajiban ini jelas tidak bisa diberlakukan untuk profesi pengacara, karena profesi ini sifatnya trans border yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu,” dia menegaskan.

 

Kewajiban tersebut, lanjut Hasanuddin, jelas akan merugikan kalangan pengacara. Pasalnya, jika kewajiban tersebut diberlakukan, maka klien asing akan enggan menggunakan jasa pengacara Indonesia. Atau kalaupun mereka menggunakan pengacara Indonesia, transaksinya dilakukan di luar wilayah Indonesia.

 

“Nanti pajaknya untuk negara lain, ujung-ujungnya pemerintah sendiri yang rugi,” tukasnya. Hasanuddin juga menyayangkan kenapa DPR dan Pemerintah tidak meminta pendapat pihak terkait seperti kalangan pengacara.

 

Ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, UU Mata Uang sudah disahkan DPR dan tinggal menunggu waktu untuk resmi diundangkan. Keberatan seperti yang diutarakan Hasanuddin pastinya tidak akan mengubah pasal-pasal dalam UU Mata Uang. Namun, sesuai mekanisme yang berlaku, pihak yang merasa keberatan sebenarnya diberi jalan untuk mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

 

Soal ini, Hasanuddin tidak mau sesumbar. Dia mengaku akan membicarakan terlebih dahulu persoalan ini di kalangan pengacara. Sementara, langkah yang terpikir adalah mengirimkan surat ke Pemerintah sebagai ungkapan protes. “Mungkin kami akan surati Menteri Keuangan,” pungkas Hasanuddin.

Tags: