UU KPK Baru Diundangkan, Bagaimana Kerja Penindakan ke Depan?
Berita

UU KPK Baru Diundangkan, Bagaimana Kerja Penindakan ke Depan?

Tetapi naskah otentiknya belum bisa disebarkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Demo menolak revisi UU KPK. Foto: RES
Demo menolak revisi UU KPK. Foto: RES

Direktorat Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan HAM telah mengundangkan ke dalam lembaran negara hasil revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kini, akan dikenal sebagai UU No. 19 Tahun 2019. Dirjen PP sudah mengumumkan status UU baru itu setelah resmi diundangkan. Kabag Humas Ditjen PP, Tri Wahyuningsih, juga membenarkan informasi pengundangan itu.

UU baru ini dimasukkan ke dalam Lembaran Negara No. 197 Tahun 2019; sedangkan penjelasannya masuk ke dalam Tambahan Lembaran Negara No. 6409. "Informasi dari Bagian Pengundangan sudah mendapat nomor dengan Nomor UU No. 19 Tahun 2019 namun file belum dapat disebarluaskan terlebih dahulu," katanya saat dihubungi hukumonline, Jumat (18/10).

Normatifnya, setiap warga negara berhak mengakses peraturan perundang-undangan. Namun khusus hasil revisi UU KPK, pemerintah belum bersedia membagikan naskahnya ke publik dengan alasan dalam proses otentifikasi. "Masih perlu otentikasi dari Setneg dulu," pungkasnya.

Revisi UU KPK memang menjadi kontroversi sejak awal. Penolakan ditandai antara lain dengan aksi demonstrasi massal di Jakarta dan beberapa daerah. Setidaknya dua mahasiswa menjadi korban meninggal dunia dalam aksi menolak sejumlah RUU bermasalah, termasuk revisi UU KPK. Pemerintah dan DPR bergeming atas penolakan massif itu. Presiden Joko Widodo malah sempat menyebut mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu. Namun sampai 30 hari terlewat, sesuai batas waktu yang diberikan UU No. 12 Tahun 2011, Perppu dimaksud tidak jadi dikeluarkan.

Penolakan juga ditandai dengan uji materi UU hasil revisi itu ke Mahkamah Konstitusi. Saat ini Mahkamah Konstitusi sudah menerima beberapa permohonan judicial review. Selain masalah penolakan, secara teknsi ada persoalan lain yang muncul. Naskah RUU yang sudah disepakati disahkan, ternyata mengandung catat. Ada kesalahan ketik pada dua pasal. Itu pula sebabnya, Presiden mengembalikan RUU yang sudah disahkan ke DPR.

(Baca juga: Beragam Harapan Terhadap Badan Legislasi Pemerintah).

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku belum menerima informasi dan dokumen mengenai UU tersebut. Pihaknya baru akan mempelajari apabila sudah mendapat dokumen yang dimaksud. "Nanti akan dilihat apa isi UU tersebut, dan segera kami bahas untuk memutuskan tindak lanjut berikutnya," katanya. 

Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan pihaknya sudah menyiapkan sejumlah opsi apabila UU tersebut resmi berlaku, salah satunya terkait dengan status pegawai yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pimpinan KPK yang tidak lagi menjadi penegak hukum.

Terkait dengan status pegawai, Agus mengatakan pimpinan telah berkonsilidasi dengan para pegawai terkait dengan aturan tersebut. Sayangnya ia tidak menjelaskan secara rinci apa hasil dari konsolidasi itu. 

Terkait dengan pimpinan yang bukan lagi penegak hukum, pihaknya juga sudah menyiapkan aturan baru, termasuk apabila nantinya KPK kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). KPK, kata Agus akan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) yang nantinya Sprindik ditandatangani oleh Deputi Penindakan. "Yang tanda tangan Sprindik siapa, Misalkan penyelidikan matang ada OTT yang dilakukan baru kemudian Deputi Penindakan yang mengeluarkan Sprindiknya," terangnya. 

Meskipun telah menyiapkan berbagai macam kemungkinan, Agus tetap berharap Presiden mengeluarkan Perppu.  "Tapi meskipun begitu kami menekankan dua hal, satu pekerja di KPK bekerja seperti biasa, kedua kami masih berharap, memohon Bapak Presiden mengeluarkan Perppu yang sangat diharapkan KPK dan banyak orang," tutupnya. 

Pemberantasan korupsi mati

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dengan berlakunya UU KPK baru resmi berlaku maka sejumlah pasal kontroversial otomatis akan diberlakukan pada lembaga anti rasuah itu. Padahal ada beberapa pasal yang menimbulkan kekacauan hukum, seperti tiadanya pasal peralihan, tiadanya Dewan Pengawas, ijin penindakan kepada Dewan Pengawas dan lain sebagainya. 

Namun Presiden Jokowi bergeming meskipun langkah ini diusulkan sejumlah kalangan. "Penting untuk ditegaskan bahwa seluruh Pasal yang disepakati oleh DPR bersama pemerintah dipastikan akan memperlemah KPK dan mengembalikan pemberantasan korupsi ke jalur lambat. Sebagai contoh, pembentukan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih Presiden dan memiliki wewenang memberikan ijin penindakan perkara rawan intervensi eksekutif. Demikian pula, penerbitan SP3 dalam jangka waktu dua tahun apabila perkara tidak selesai akan berpotensi menghentikan perkara besar yang sedang ditangani oleh KPK," terangnya. 

"Banyak pihak yang berdalih bahwa dalam UU KPK yang baru terdapat pasal peralihan terkait pembentukan Dewan Pengawas. Namun, harus dipahami, bahwa cepat atau lambat Dewan Pengawas akan terbentuk. Jadi, pernyataan yang menyebutkan terkait dengan pasal peralihan itu hanya dalih tanpa dasar sama sekali," tambahnya. 

Salah satu permasalahan utama dalam UU itu terkait usia minimal Pimpinan KPK baru pun belum selesai dari perdebatan. Dalam draft UU KPK yang selama ini beredar disebutkan bahwa usia minimal Pimpinan KPK dapat dilantik adalah 50 tahun. Sedangkan salah satu Pimpinan KPK terpilih Nurul Ghufron belum sampai batas usia minimal sebagaimana disebut dalam UU KPK baru. Tentu ini menjadi kekosongan hukum yang harusnya dapat diisi oleh Perppu.

(Baca juga: Belajar dari Pengalaman Masa Lalu).

Selain dari substansi, persoalan formil pun masih menjadi sorotan publik. Mulai dari tidak masuk prolegnas prioritas 2019 dan tidak dihadiri oleh kuorum paripurna DPR saat pengesahan UU KPK yang baru. Demikian pula, KPK secara institusi juga tak pernah dilibatkan pada proses pembahasan. "Kejadian di atas memberikan gambaran bahwa dua cabang kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif memiliki niat untuk mengkerdilkan agenda pemberantasan korupsi," jelasnya. 

Atas dasar itu, ICW menunut tiga hal. Pertama Presiden tidak ragu untuk menerbitkan Perppu yang isinya menolak seluruh Pasal yang telah disepakati dalam UU KPK baru; kedua Partai Politik agar tidak mengintervensi Presiden dalam mengeluarkan PerPPU; dan ketiga Masyarakat agar tetap menyuarakan penolakan terhadap seluruh bentuk pelemahan KPK.

Tags:

Berita Terkait