UU Kepailitan Versus Hak-Hak Buruh
Oleh: Ricardo Simanjuntak,SH.LL.M.ANZIIF.CIP *)

UU Kepailitan Versus Hak-Hak Buruh

Putusan Mahkamah Konsitusi yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi UU No. 37 Tahun 2004 yang diajukan oleh Komaruddin dan Muhammad Hafiz menyisakan suatu ketidakjelasan substansi permasalahan.

Bacaan 2 Menit

 

Aturan tadi dihadapkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh buruh berdasarkan pasal 9 ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU. Ketenagakerjaan) yang mengatur sebagai berikut ; dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Sebenarnya merupakan suatu langkah peningkatan hak buruh dari kedudukan yang lebih rendah yang dimilikinya sebelumnya berdasarkan pasal 1149 KUH Perdata. Peningkatan hak tersebut memang diperbolehkan berdasarkan pasal 1134  ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: Hak istimewa ialah suatu hak yang undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpitang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

 

Akan tetapi harus pula diingat bahwa pemberian hak untuk didahulukan seperti yang diatur dalam pasal 9 ayat 4 UU Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditur separatis. Sebab, pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata juga telah secara tegas juga mengatur sebagai berikut; Gadai dan Hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana ditentukan oleh undang-undang sebaliknya. Jelas bahwa hak istimewa yang diatur dalam pasal 9 ayat (4)  UU Ketenagakerjaan tidak mengatur bahwa hak buruh lebih tinggi dari hak separatis. Artinya bahwa hak istimewa dari buruh adalah untuk mendapatkan pembayaran dari harta-harta debitur pailit yang belum dijaminkan.

 

Dengan sama sekali tidak bermaksud mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak buruh, alasan untuk melakukan perlindungan hak-hak buruh dalam kasus ini haruslah pula diterjemahkan sejalan dengan perlindungan hak-hak dari kreditur separatis. Karena hak kreditur separatis juga telah secara tegas diatur dalam undang-undang.

 

Bila hak-hak kreditur separatis dikorbankan untuk kepentingan buruh seperti yang dimaksudkan dalam permohonan uji materi UU Kepailitan, maka akan sangat menimbulkan potensi permasalahan yang lebih besar. Akan terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan lembaga hukum penjaminan di Indonesia. Konsekuensinya jelas, hal itu akan berdampak buruk pada aktivitas bisnis di Indonesia. Tidak ada Bank yang akan berani memberikan pinjaman tanpa adanya suatu jaminan (collateral) sebagai salah satu persyaratan penting dari penerapan azas prudential banking yang diatur dalam UU. Perbankan. Demikian juga halnya  terhadap para investor ataupun fasilitator-fasilitator bisnis dan keuangan  baik dalam negeri apalagi luar negeri, akan sangat enggan untuk berbisnis di Indonesia sehingga akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan aktivitas bisnis, yang pada akhirnya akan sangat berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja atau buruh di Indonesia.

 

Memang Kepailitan ataupun pembubaran suatu perusahaan akan berdampak buruk terhadap perlindungan hak dan masa depan dari para pekerjanya. Akan tetapi, upaya untuk mengatasinya akan lebih baik dilakukan dengan secara serius membangun lembaga penjaminan ataupun asuransi yang menjamin kepastian hak-hak dari buruh tersebut untuk dibayar dalam hal perusahaan tempatnya bekerja di pailitkan, daripada harus menghancurkan lembaga penjaminan yang telah menjadi bagian pembanguan lingkungan berbisnis yang baik di Indonesia.

 

-------

*) Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI).

 

Tags: