UU Kepailitan Dianggap Merugikan Buruh
Berita

UU Kepailitan Dianggap Merugikan Buruh

Kalau suatu perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, yang harus didahulukan pembayarannya adalah upah dan hak-hak pekerja.

Mys
Bacaan 2 Menit
UU Kepailitan Dianggap Merugikan Buruh
Hukumonline

 

Lantaran menganggap ketentuan UU Kepailitan merugikan kepentingan buruh, FISBI menempuh langkah hukum berupa judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Yang dimohonkan untuk diuji adalah ketiga pasal di atas – 55 ayat (1), 59 ayat (1) dan 138. Hingga kini, permohonan ini belum disidangkan.

 

Bukan yang pertama

Berdasarkan catatan hukumonline, permohonan pengujian materi UU Kepailitan dan PKPU bukan kali ini saja diajukan. Jauh sebelum permohonan FISBI disidangkan, Mahkamah Konstitusi sudah memutus beberapa permohonan sejenis. Permohonan judicial review terakhir atas UU No. 37/2004 datang dari Tommi S. Siregar dan kawan-kawan. Permohonan ini tercatat pada Desember 2005. Permohonan mereka berkaitan dengan tugas kurator akhirnya ditolak.

 

Sebelum itu, Mahkamah Konstitusi menyidangkan tiga permohonan yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI), Aryunia Candra P, dan Suharyanti. Ketiga pemohon antara lain mengkritik pasal 223 dan pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU. Sebagian materi permohonan mereka dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

 

Permohonan judicial review baru diajukan. Kali ini, yang maju adalah kalangan buruh. Tinggal menunggu kapan perkara ini disidangkan. 

 

Pembayaran  atas hak buruh untuk didahulukan dalam hal perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit tegas dinyatakan pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Bagian penjelasan malah mempertegas: yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya. Pada ketentuan tersebut, buruh berada pada kedudukan pertama ketika terjadi kepailitan, papar M. Hafidz, Pelaksana Tugas Kesekretariatan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI).

 

Penegasan UU Ketenagakerjaan tersebut tak seindah dalam praktek. Jika ada kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan maupun hipotik, maka merekalah yang mendapat prioritas. Prioritas kepada kreditur jenis ini bukan tanpa dasar. Simak saja bunyi ketentuan pasal 138 UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

 

Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.

 

Ketentuan itu juga dipertegas dalam pasal 55 ayat (1) dan pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Inilah yang membuat sebagian buruh protes. Dalam pandangan FISBI, aturan dalam UU kepailitan tadi membuat kedudukan buruh seolah satu tingkat di bawah kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia dan lain-lain. Aturan demikian, bagi FISBI, sama saja menghapus nuansa perlindungan terhadap hak-hak buruh, baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan.

 

Hafidz menunjuk nasib ribuan karyawan PT Great River International Tbk. Hak-hak buruh tak bisa terpenuhi lantaran pada saat bersamaan perusahaan itu ternyata terbelit ‘utang' ke Bank Mega.  Gugatan pekerja anak perusahaan ini kandas di tengah jalan. Sebagian karyawan malah mengajukan permohonan pailit terhadap Great River setelah mendengar bank tersebut melelang aset-aset Great River.

Tags: