UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan
Kolom

UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan

Perubahan positif dalam UU Keimigrasian bukan merupakan inisiatif Pemerintah, melainkan hasil sebuah proses politik.

Bacaan 2 Menit
UU Keimigrasian, Angin Segar dari Senayan
Hukumonline

DPR akhirnya mengetok palu mengesahkan UU Keimigrasian yang baru. Undang-undang yang di mata para pembuatnya telah mengedepankan aspek-aspek Hak Asasi Manusia, terutama terkait hak untuk menyatukan keluarga bagi keluarga perkawinan campuran. Suatu sinyal positif bagi penghormatan nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia. Angin segar dari Senayan.

 

Terkait hal ini, sudah banyak media yang mengangkat permasalahan keluarga perkawinan campuran. Misalnya pemberitaan secara intensif oleh Harian Jakarta Globe maupun Jakarta Post yang kebetulan juga memuat opini Fahri Hamzah, Ketua Panja yang membahas undang-undang tersebut.

 

Meskipun demikian, judul berita Hukumonline yang notabene mengutip pernyataan Menteri Hukum dan HAM, justru memberikan penekanan pada sisi ramah investor undang-undang tersebut. Beberapa media yang lain, seperti BBC, hanya menyoroti usaha untuk mengantisipasi permasalahan perdagangan orang di Indonesia.

 

Jadi, apa sebenarnya maksud dari revisi undang-undang yang dibuat pada tahun 1992 itu? Apa “raison d'etre”-nya? Apakah Pemerintah dalam pelaksanaan nantinya akan konsisten dengan kebijakan tersebut?

 

Revisi undang-undang keimigrasian memang harus melalui jalan berliku. Jika kita telusuri kembali prosesnya, sampai tahap akhir naskah RUU tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR, belum ada poin-poin yang secara spesifik ditujukan untuk meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, utamanya terkait status hukum keluarga perkawinan campuran.

 

Poin-poin yang terangkum dalam latar belakang Pemerintah saat menyusun RUU Keimigrasian pada dasarnya bersifat umum, serta tidak menunjuk pada suatu tujuan tertentu. Meskipun demikian, apabila kita ikuti pemberitaan media ketika itu, pembaruan UU Keimigrasian yang awalnya diajukan oleh Pemerintah ini ditujukan untuk memperketat pintu masuk atau keluar bagi orang asing, terutama untuk memberantas praktik penyelundupan/perdagangan orang di wilayah Indonesia.

 

Usaha untuk mengetatkan pintu masuk/keluar orang asing ini, bisa ditelusuri asal-usulnya dari poin-poin kesepakatan luar negeri antara Indonesia dengan Australia yang tertuang dalam Bali Process. Dalam kerja sama regional yang telah diawali dari tahun 2002 tersebut, diharapkan ada kebijakan nasional yang lebih ketat dalam menyikapi tindak kejahatan lintas perbatasan yang tidak hanya berimbas pada level nasional, namun juga akan mempengaruhi keamanan dan ketertiban di tingkat regional. Adanya kerja sama regional itulah yang kiranya mendorong dibukanya kembali proses pembahasan RUU Keimigrasian pada tahun 2010, di mana penyelundupan manusia (perdagangan orang) menjadi isu utamanya.  

 

Dialog intensif dan mesra antar pemimpin kedua negara sejak bulan Maret tahun lalu, telah mendorong Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, untuk segera merampungkan revisi UU Keimigrasian yang baru. Di samping isu keamanaan regional tersebut, sebenarnya juga terdapat isu institusional yang didorong dari dalam Ditjen Imigrasi sendiri, yaitu apa yang kemudian muncul dalam UU Keimigrasian sebagai sistem informasi dan manajemen keimigrasian.

 

Menurut hemat penulis, akar permasalahan tersebut bukan hanya terkait permasalahan keimigrasian saja. Rivalitas antara institusi Kepolisian dengan Ditjen Imigrasi terkait pengawasan orang asing, misalnya, bisa saja dibandingkan dengan rivalitas antara BPN dengan Departemen Kehutanan terkait penentuan status tanah. Ada benturan kewenangan antar dua lembaga yang harus diselesaikan dengan sebuah peraturan yang akan mengikat keduanya. Permasalahan kelembagaan ini mungkin bisa jadi cerita tersendiri lain waktu.

 

Pendeknya, diuntungkan oleh dibukanya kembali proses pembahasan RUU Imigrasi ini, barulah organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran di Indonesia melihat adanya peluang untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

 

Tidak banyak tersentuh oleh perdebatan akademis ataupun praktik hukum di Indonesia, UU No 9/1992 tentang Keimigrasian meninggalkan permasalahan pengaturan yang (kemudian) berbenturan dengan semangat reformasi yang lahir sesudahnya. Pasal 8 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas menyebutkan bahwa aturan yang terkait dengan (pembatasan) hak dasar, harus diatur dalam undang-undang. Begitu pula halnya dengan aturan mengenai visa atau izin tinggal yang membatasi hak seseorang untuk berpindah atau menetap.

 

Terkait hal tersebut, UU No 9/1992 ternyata tidak mengaturnya secara tegas, dan membuka ruang delegasi yang sangat besar pada level peraturan di bawahnya. Akibatnya, pengaturan terkait visa dan izin tinggal yang jelas mengakibatkan pembatasan hak dasar seseorang hanya diatur dalam peraturan-peraturan di bawahnya. Presiden, atau bahkan Menteri, dapat mengeluarkan peraturan yang membatasi hak dasar seseorang.

 

Prinsip demokrasi berangkat dari asumsi bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat yang juga berarti bahwa dalam suatu sistem pemerintahan yang demokratis, posisi setiap orang seharusnya diasumsikan setara. Yang bisa mengatur rakyat dengan membatasi atau mengurangi hak mereka pada dasarnya adalah mereka sendiri. Karenanya pula, parlemen (lembaga perwakilan rakyat) dalam suatu pemerintahan yang demokratis memegang posisi kunci dalam penentuan kebijakan. Setidaknya, dalam asumsi paling ideal, mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat itulah para wakil seluruh rakyat Indonesia.

 

Hal ini berarti, prinsip pengaturan yang secara hukum dituangkan ke dalam Pasal 8 UU No 10/2004 tersebut, merupakan aspek fundamental dalam demokrasi. Diikuti atau tidaknya aturan tersebut, nantinya akan menentukan berjalan atau tidaknya negara hukum. Dan ini sebenarnya bukan permasalahan yang hanya ditemui dalam UU No 9/1992 saja.

 

Tentu, bisa saja kita pertanyakan lagi, mengapa prinsip ini harus dianggap penting. Apa pentingnya suatu permasalahan diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan menteri? Bukankah dengan mengatur dengan peraturan yang lebih rendah, maka secara praktis akan lebih mudah diadakan revisi apabila nantinya diperlukan?

 

Sehubungan dengan visa dan izin tinggal, keluarga perkawinan campuran secara langsung telah merasakan imbas dari ketidakjelasan pengaturan dalam UU No 9/1992 tersebut. Pada praktiknya, tercipta ketidakpastian terkait status hukum anggota keluarga berkewarganegaraan asing yang tinggal di Indonesia. Selain anggota keluarga berkewarganegaraan asing ini tidak mendapat kejelasan untuk dapat tinggal menetap di Indonesia, anggota keluarga berkewarganegaraan asing juga selalu dianggap sama dengan orang asing pemegang visa kerja (tenaga kerja asing), di mana pemberi kerjanya harus memiliki izin kerja untuk mempekerjakan.

 

Dalam banyak kasus, situasi di mana salah satu pasangan mendapatkan hambatan untuk bekerja, juga menghalangi keluarga perkawinan campuran untuk tinggal di Indonesia. Selain itu, kehidupan keluarga mereka menjadi sangat tergantung pada diskresi pejabat imigrasi. Meskipun tidak selalu berakhir buruk, namun ketidakpastian yang ditimbulkan telah menjadi momok bagi kehidupan berumah tangga.

 

Permasalahan di atas pula yang kemudian mendorong organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran untuk terlibat dalam proses pembahasan RUU Keimigrasian. Dalam suatu proses yang naik turun dan berliku, organisasi-organisasi keluarga perkawinan campuran mengorganisir diri, menyusun konsep ideal, serta mendekati para anggota dewan, maupun pejabat-pejabat pemerintah terkait.

 

Puncaknya, ketika Ketua Panja RUU Keimigrasian, Fahri Hamzah, pada akhir tahun lalu secara tegas memberikan sinyal kepada Pemerintah untuk segera membenahi isi undang-undang tersebut agar sesuai dengan aspek-aspek kemanusiaan. Sejak saat itu, maka perdebatan mengenai isi RUU Keimigrasian terkait status hukum anggota keluarga berkewarganegaraan asing benar-benar dibuka kembali. Dengan kata lain, aspirasi para anggota keluarga perkawinan campuran yang belum diakomodir dalam RUU yang diajukan saat itu, harus segera dipertimbangkan untuk dimasukkan.

 

Apa saja poin-poin tuntutan yang mengemuka? Pertama, ada kategorisasi pemberian visa sesuai dengan maksud dan kedatangan orang asing ke Indonesia, berikut pengaturan yang jelas terkait visa yang diberikan kepada anggota keluarga perkawinan campuran. Kedua, diakuinya izin tinggal tetap bagi anggota keluarga perkawinan campuran. Dalam praktiknya tak jarang pasangan warga negara asing, meskipun telah menetap belasan bahkan puluhan tahun di Indonesia, tetap harus memperpanjang izin tinggalnya berdasarkan jaminan dari pasangan WNI-nya. Jika pasangan WNI-nya meninggal, misalnya, maka status hukum warga negara asing tersebut menjadi tidak pasti. 

 

Ketiga, langsung diberikannya izin tinggal tetap kepada anggota keluarga perkawinan campuran. Hal ini erat kaitannya dengan pemberlakuan kewarganegaraan ganda pada anak perkawinan campuran yang hanya berlaku hingga usia 21 tahun. Akibatnya, seorang anak yang sepanjang hidupnya tinggal di Indonesia, tetapi kemudian memilih kewarganegaraan asing tetapi tetap menetap di Indonesia, akan diperlakukan sebagaimana layaknya orang asing yang baru masuk ke Indonesia. Kemudian yang terakhir, keluarga perkawinan campuran diberikan kesempatan yang sama dengan penduduk Indonesia lainnya untuk mencari nafkah.

 

Secara umum keempat tuntutan di atas diakomodir di dalam undang-undang yang baru selesai dibahas oleh DPR dengan Pemerintah. Seperti sudah disebutkan juga di awal tulisan ini, pada akhirnya menjadi angin segar dari Senayan. Hal ini melahirkan harapan baru atas membaiknya kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia ditinjau dari sisi kemanusian. Meskipun demikian, dilihat dari asal-usulnya, fenomena UU Keimigrasian ini tetap perlu ditanggapi secara kritis.

 

Betul, bahwa telah terjadi perubahan positif atas kebijakan tersebut, setidaknya terkait hak dan kedudukan anggota keluarga perkawinan campuran. Tetapi perlu digarisbawahi, perubahan tersebut bukan merupakan inisiatif Pemerintah yang tertuang dalam naskah yang pertama kali diajukannya kepada DPR, melainkan hasil sebuah proses politik. Selain  diuntungkan oleh kebijakan lain yang menindaklanjuti Bali Process, perbaikan nasib keluarga perkawinan campuran pada akhirnya terwujud akibat lobi para pemangku kepentingan terkait, serta dukungan politik di DPR. Anggota-anggota DPR yang membahas RUU tersebut, dengan lantang menyuarakan aspirasi keluarga perkawinan campuran, serta memastikan terjadinya perubahan kebijakan.

 

Bagi para pelaku perkawinan campuran, kenyataan ini kemudian memicu pertanyaan-pertanyaan lanjutan, seperti soal kepastian pembuatan peraturan pelaksana, maupun pelaksanaan kebijakan itu nantinya. Tetapi, apabila pada akhirnya Pemerintah sendiri telah menyetujui dan bahkan membanggakan kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu, semestinya tak ada lagi alasan untuk menghambat pelaksanaannya di kemudian hari, bukan?

 

* Peneliti lepas Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Tags: