UU Kehutanan Lemah Berantas Kejahatan
Berita

UU Kehutanan Lemah Berantas Kejahatan

Tak menyentuh aktor dan tanggung jawab korporasi sebagai pemicu munculnya kejahatan.

inu
Bacaan 2 Menit
Emerson Yuntho katakan UU Kehutanan kurang efektif memerangi kejahatan korupsi di sektor kehutanan. Foto: Sgp
Emerson Yuntho katakan UU Kehutanan kurang efektif memerangi kejahatan korupsi di sektor kehutanan. Foto: Sgp

Kerugian negara di sektor kehutanan tak akan tertangani bila penegak hukum hanya menggunakan peraturan perundangan sektoral. Yaitu UU No 41 Tahun 1999  tentang Kehutanan, atau hanya dengan memakai UU No 14 Tahun 2008 tentang Perkebunan. Pun dengan menggunakan UU No 39 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Jika pendekatan penegakan hukum masih terpaku pada penggunaan UU Kehutanan, hampir bisa dipastikan kejahatan di sektor kehutanan, khususnya alih fungsi hutan sulit diungkap. Atau, untuk kejahatan seperti pembalakan liar (illegal logging), kemungkinan aktor utama terungkap pun kecil jika menggunakan regulasi standar di sektor kehutanan tersebut.


Demikian pernyataan pers bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan Save Our Borneo di Jakarta, Selasa (23/5). ICW diwakili Emerson Yuntho, sedangkan Save Our Borneo diwakili Nordin.


UU Kehutanan, menurut Emerson kurang efektif dalam memerangi kejahatan, termasuk korupsi, di sektor kehutanan. Antara lain karena, tidak ada definisi pembalakan liar dan tidak ada sanksi pidana minimum.


Juga tidak menjangkau kejahatan korporasi. Karena hukuman diberikan pada pelaku yang tertangkap tangan. Jikapun diproses pelaku banyak yang dibebaskan atau mendapat hukuman ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.


Dapat pula kata Emerson, digunakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


Karena, UU Pemberantasan Tipikor, menguraikan jenis korupsi seperti merugikan keuangan negara, penyuapan, maupun gratifikasi. Ketentuan itu dapat digunakan mengungkap kejahatan di sektor kehutanan karena berawal dari proses perizinan hingga proses pengangkutan dan pungutan hasil hutan. “Ditambah ancaman pidana minimal dan lebih berat dari UU sektoral lain,” paparnya.


Selain itu, UU Pemberantasan Tipikor juga dapat menjerat individu dan koorporasi. Diatur pula mengenai penyitaan, optimalisasi asset recovery melalui denda dan uang pengganti dan dapat menjerat pihak yang berupaya menghalangi proses pemeriksaan.


Emerson mengungkapkan, pola ini sudah diterapkan oleh Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Sekalipun, belum maksimal baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.”


Proses pemberian efek jera bagi korporasi, juga akan sangat efektif apabila dijerat secara komulatif tidak saja dengan UU Pemberantasan Tipikor namun juga dengan UU Pencucian Uang, terutama Pasal  7.


Disebutkan, dalam pasal itu, pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100 miliar. Selain pidana denda, terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa, pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan, serta perampasan aset Korporasi untuk negara, juga pengambilalihan korporasi oleh negara.


Nordin menambahkan, kerugian negara akibat korupsi disektor kehutanan yang terbesar tercatat di Kalimantan Tengah. Upaya perambahan atau pelepasan kawasan hutan tidak saja menimbulkan kerugian ekologis namun juga berdampak pada kerugian keuangan negara. Laporan Kementerian Kehutanan pada Agustus 2011, dugaan korupsi izin pelepasan kawasan hutan di Kalimantan diprediksi merugikan negara hampir Rp321 triliun.


Jika diuraikan, maka di Kalteng sebesar Rp158 triliun. Lebih besar dibandingkan dengan Kaltim yang nilainya diduga mencapai Rp31,5 triliun, Kalbar sebesar Rp121,4 dan Kalsel mencapai Rp9,6 triliun.


Namun, terungkap kegamangan penegak hukum untuk menggunakan undang-undang lain guna menangani kejahatan di sektor kehutanan. Hal itu terungkap, lanjut Nordin, tatkala digelar Focus Group Discussion (FGD) Save Our Borneo dan ICW dan dihadiri oleh unsur Kepolisian, Kejaksaan, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), serta beberapa LSM pada 21 Mei 2012.


Sejumlah kendala itu antara lain adanya tumpang tindih aturan sektor SDA yang menyebabkan penegak hukum ragu melakukan upaya hukum. Juga mudahnya pemberian izin usaha perkebunan, pertambangan dan kehutanan di tingkat lokal.

Tags: