UU ITE Tak Tepat Jerat Pelaku Penghinaan
Berita

UU ITE Tak Tepat Jerat Pelaku Penghinaan

UU ITE seharusnya cukup mengatur perdagangan elektronik.

RIA
Bacaan 2 Menit
Dari kiri-kanan, Anggara (ICJR), M Arsyad (Korban UU ITE Makasar) dan Mujtaba Hamdi (MediaLink) dalam diskusi publik dengan tema
Dari kiri-kanan, Anggara (ICJR), M Arsyad (Korban UU ITE Makasar) dan Mujtaba Hamdi (MediaLink) dalam diskusi publik dengan tema

Dewasa ini kejahatan elektronik kian merebak. Salah satu kejahatan yang sering mencuat ke media adalah mengenai pemidanaan terhadap orang-orang yang menyampaikan kritiknya melalui akun media sosial.

Seringnya, kritik tersebut menjerat pelaku dengan landasan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(UU ITE), “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Hal ini diamini oleh Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Josua Sitompul. “Kalau yang sekarang ini ya, khusus di Indonesia, saya ngelihat kasus mengenai penghinaan, pencemaran nama baik itu banyak sih,” tuturnya.

Kasus ini pernah menjerat Muhammad Arsyad, seorang Pegawai Negeri Sipil asal Makassar. Dalam pesta demokrasi pemilihan Walikota Makassar tahun 2013, adik dari Nurdin Halid, Kadir Halid merupakan salah satu yang ikut mencalonkan. Berpasangan dengan Supomo, Asryad menyampaikan ketidaksukaannya terhadap pencalonan Kadir.

Arsyad menuliskan “No Fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!” pada status blackberry messenger miliknya. Status tersebut berbuntut penetapan dirinya sebagai tersangka. Arsyad dijerat Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE juncto Pasal 310 sub Pasal 335 KUHP.

Ia bersyukur majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis bebas atas dakwaan yang ditujukan kepada Arsyad. Meski begitu, hingga kini Arsyad belum dapat mengurus rehabilitasi atas dirinya.

“Jaksa masih memperkarakan ini lewat jalur kasasi, jadi saya belum bisa mengurus rehabilitasi karena masih ada upaya hukum,” ujar Arsyad pada kesempatan terpisah, Selasa (31/3).

Berdasarkan catatan hukumonline, kasus serupa juga pernah menimpa beberapa nama. Di antara rentetan kasus terdapat nama Prita Mulyasari, Benny Handoko, Florence Sihombing, dan salah seorang Dosen FISIP UI berinisial AA.

Josua berpendapat sering terjadi kesalahan penerapan ketentuan penghinaan pada penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam banyak kasus. “Itu yang sangat saya sayangkan,” imbuhnya.

Contohnya, sebut Josua, kalau ada orang menghina perusahaan melalui akun media sosialnya, lalu karena perusahaan itu melaporkan ke kepolisian mengenai penghinaan, akhirnya laporan diproses dan orang tersebut terjerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

“Padahal itu adalah suatu kesalahan, karena yang namanya penghinaan (menurut KUHP) itu kan terhadap pribadi bukan perusahaan kan? Tapi kenapa itu tetap diproses?” sampai Josua ketika dihubungi hukumonline, Senin (30/3).

Kesalahan lainnya dapat dilihat dalam kasus Florence. Mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini dituduh menyebarkan pernyataan kebencian, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mempertanyakan apakah pernyataan yang emosional itu bisa masuk dalam kategori penyebaran kebencian. “Karena kan nggak ada ajakan untuk memusuhi orang Yogjakarta, yang ada ajakan untuk tidak mengunjungi Yogja. Itu beda kan. Tidak mengunjungi Yogja dalam konteks pariwisata loh itu,” pungkasnya

Pun seharusnya jika menggunakan logika undang-undang, yang meng-capture dan menyebarkan isi path Florence-lah yang dijerat dengan UU ITE karena dia lah yang menyebarkan Informasi atau Dokumen Elektronik, sebut Anggara.

Revisi UU ITE
Aliansi masyarakat sipil, Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) memiliki keresahan serupa. Maraknya korban kriminalisasi UU ITE ini menjadi pemacu gerak SIKA untuk menuntut parlemen dan pemerintah untuk segera merombak regulasi mengenai informasi dan komunikasi.

SIKA menegaskan, UU ITE seharusnya tidak mengatur ketentuan pidana konvensional. “Pidana kesusilaan, penghinaan dan pencemaran nama baik, ancaman kekerasan, dan penyebaran kebencian berlatar SARA harus dikembalikan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ujar Mujtaba Hamdi dari MediaLink.

“Dasar bahwa KUHP tidak mampu menjangkau kejahatan-kejahatan internet adalah salah,” imbuh Anggara dalam konfrensi pers yang digelar SIKA di Kedai Tjikini, Selasa (31/3).

Kejahatan-kejahatan yang sudah diatur dalam KUHP harus dicabut terlebih dahulu untuk meminimalisir gangguan terhadap prinsip kepastian hukum, jelas Anggara. Wacana pemerintah yang menginginkan ketentuan di luar pidana dimasukan kembali ke dalam KUHP pun harus direalisasikan.

“Harusnya UU ITE ya hanya mengatur perdagangan elektronik. Kedua, kalau pun mau ada ketentuan pidana yang diatur dalam UU ITE, dia harus tindak pidana yang tidak ada padanannya dalam KUHP,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait