UU ITE Tak Seharusnya Jerat Korespondensi Pribadi
Berita

UU ITE Tak Seharusnya Jerat Korespondensi Pribadi

Korespondesi adalah ranah privat dan kebebasan setiap individu.

M-28
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Baiq Nuril harus dihadapkan dengan vonis bersalah yang telah dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada dirinya. Setelah sempat bebas pada 2017 lalu, kini dia harus bersiap untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan MA atas perbuatan yang dianggap melanggar UU No. 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Kasus ini bermula saat Baiq Nuril, seorang tenaga honorer merekam percakapan teleponnya dengan Kepala SMAN 7 Mataram yang saat itu menceritakan hubungan seksual kepala sekolah dengan orang lain yang bukan isterinya. Selanjutnya, rekaman ini diminta oleh rekannya dan ditransmisi ke laptop. Kemudian, rekaman ini dikirimkan oleh rekan Baiq Nuril kepada pihak lain. Lalu pihak lain ini kembali mengirimkan rekaman tersebut ke pengawas SMAN 7 Mataram.

 

Tidak suka dengan hal tersebut, kepala sekolah kemudian melaporkan Baiq Nuril ke polisi. Namun, tuduhan yang ditujukan kepada Baiq Nuril adalah telah menyebarkan rekaman percakapan telepon kepala sekolah. Kemudian, Penuntut Umum menuduh Baiq Nuril telah melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu:

 

UU ITE

Pasal 27 ayat (1):

“dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

 

Penuntut Umum mendakwa Baiq Nuril dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp500 juta. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram (PN Mataram) lewat putusan No.265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr menyatakan bahwa Baiq Nuril tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Akhirnya, Baiq Nuril bebas dari tuduhan dan tuntutan.

 

Tak puas, Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh MA selaku judex juris, akhirnya Baiq Nuril dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindakan sebagaimana dituduhkan oleh Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

 

Selanjutnya, lewat putusan No.574K/Pid.Sus/2018 MA menjatuhkan hukuman kepada Baiq Nuril berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 500 juta subsidair pidana kurungan 3 bulan.

 

Menanggapi putusan ini, Genoveva Alicia peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait Pasal 27 ayat (1) UU ITE ini.

 

“Dalam rumusan pasal ini jelas dimuat bahwa informasi elektronik yang didistribusikan atau ditransmisikan ini harus mengandung muatan yang melanggar kesusilaan. Sementara UU ITE sama sekali tidak menjabarkan lebih jauh tentang apa itu muatan yang mengandung kesusilaan,” ujarnya saat dihubungi hukumonline Rabu (14/11).

 

(Baca Juga: Kritik Sejumlah Pakar atas Vonis Baiq Nuril)

 

Ia berpandangan bahwa penerapan pasal ini harus dikaitkan dengan KUHP yang mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Menurutnya, suatu perbuatan bisa dianggap melanggar kesusilaan apabila perbuatan susila itu dilakukan secara terbuka di depan umum atau dengan maksud untuk diketahui oleh khalayak.

 

“Dalam kasus ini pembicaraan antara Bu Nuril dengan kepala sekolah adalah ranah privat dan tidak dilakukan secara terbuka,” tambahnya.

 

Selain itu, Genoveva juga menyampaikan kekecewaannya terhadap majelis hakim MA yang memeriksa di tingkat kasasi. Pasalnya, dalam kasus ini tindakan Baiq Nuril adalah merekam bukan mentransmisikan sebagaimana yang dituduhkan kepada Baiq Nuril.

 

“ICJR sendiri tidak sepakat dengan MA. Kami lebih sepakat dengan hakim di tingkat pertama yang menyatakan bahwa unsur ‘mentransmisikan’ tidak terbukti, karena yang memindahkan file rekaman bukan Bu Nuril,” katanya.

 

(Baca Juga: Siapa Saja Bisa Diadukan: Mereka yang Terjerat UU ITE)

 

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi menerangkan bahwa pasal ini dikenakan bagi setiap orang (perorangan maupun badan hukum) yang terbukti tanpa hak mentransmisikan, mendistribusikan, dan atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Dia juga menyebutkan bahwa dalam kasus Baiq Nuril, ada dua elemen yang penting untuk dibuktikan.

 

“Elemen yang harus dibuktikan ialah apakah benar Nuril terbukti mentransmisikan/mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang bermuatan konten asusila? Selanjutnya jika benar terbukti, apakah Nuril tidak memiliki hak untuk merekam konten tersebut?” katanya.

 

Ia juga menambahkan bahwa perekaman ini seharusnya patut diduga sebagai upaya melindungi diri dengan cara menyimpan bukti yang bisa saja akan sangat berguna di kemudian hari.

 

Dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE sendiri ada tiga perbuatan utama yang diatur, yaitu mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses. Kemudian dalam penjelasannya, perbuatan-perbuatan ini dijabarkan sebagai berikut:

 

Mendistribusikan

mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik

Mentransmisikan

mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik

Membuat dapat diakses

semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik

 

Saat dikonfirmasi perihal batasan frasa “membuat dapat diakses” yang dalam penjelasannya bisa memunculkan berbagai tafsir, Teguh menyatakan bahwa hal ini sebenarnya sudah jelas. “Frasa ini berarti informasi/dokumen elektronik yang semula tidak dapat diakses menjadi dapat diakses secara elektronis,” ujarnya.

 

Padahal penjelasan frasa ini bisa saja menyasar perbuatan apapun yang sangat merugikan hak dan kebabasan orang lain saat mengakses informasi/dokumen elektronik.

 

Salah satu buktinya adalah korespondensi yang selama ini bersifat privat, bisa saja disasar menjadi obyek yang dianggap melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Selain kasus Baiq Nuril, kasus serupa pernah menimpa HR dan FR.

 

HR dan FR yang saat itu sedang berkorespondensi lewat aplikasi pesan singkat dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya karena muatan percakapan mereka mengandung hal-hal yang bersifat susila. Percakapan pribadi mereka kemudian dilaporkan sebagai bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam UU ITE. Namun akhirnya kasus ini diberhentikan saat sampai di proses penyidikan.

 

Namun, Teguh juga berpandangan bahwa korespondensi merupakan hak privat meski tidak diatur di dalam UU ITE. “Sepanjang tidak melanggar aturan perundang-undangan, hak atas rekaman korespondensi menjadi milik kedua belah pihak, kecuali diperjanjikan lain sebelumnya oleh kedua belah pihak,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait