UU Ini Bisa Menjerat ‘Pemain’ Harga Obat dan Alkes
Terbaru

UU Ini Bisa Menjerat ‘Pemain’ Harga Obat dan Alkes

Tapi pengenaan UU Perdagangan dinilai jauh lebih tepat, seperti rumusan Pasal 29 ayat (1) jo Pasal 107 UU Perdagangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Jenis obat-obatan yang diindikasikan dapat menyembuhkan Covid-19 mengalami kenaikan harga yang tidak wajar di pasaran. Hal ini salah satunya disebabkan adanya dugaan penimbunan jenis obat-obatan tertentu. Untuk itu, pihak yang berwenang dapat segera meningkatkan pengawasan dan menjerat pelaku usaha yang memainkan harga obat-obatan termasuk alat kesehatan (alkes) di pasaran.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menegaskan pemerintah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus segera mengeluarkan pernyataan resmi mengenai kebenaran beberapa jenis obat yang diindikasikan dapat menyembuhkan Covid-19. Selain itu, Kepolisian agar segera melakukan insiden mendadak (sidak) harga obat-obatan di pasaran.

“Dan bertindak tegas terhadap penjual yang melanggar harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah (Kemenkes, red) dengan memberikan sanksi, seperti mencabut izin usahanya,” ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/7/2021). (Baca Juga: Polri Diminta Bertindak Tegas terhadap Spekulan Harga Obat dan Alkes)

Dia mengatakan langkah itu penting dilakukan agar menimbulkan efek jera bagi para pelaku usaha yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Dia menegaskan perlu penegakan hukum yang tegas bagi para “pemain” harga obat-obatan Covid-19, alat-alat kesehatan, ataupun penimbun obat. Sebab, tingginya harga obat di pasaran makin memperparah kondisi penanganan Covid-19 dan memperburuk situasi yang sedang krisis saat ini.

Terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes Pol) Ahmar Ramadhan menegaskan jajaran kepolisian bertindak tegas terhadap “pemain” harga obat-obatan dan alat kesehatan. Pihaknya telah memantau perdagangan obat-obatan secara online, maupun perdagangan secara langsung. Termasuk pabrik dan distributornya pun masuk dalam pantauan kepolisian.

Menurutnya, kepolisian bisa menjerat para pelaku pemain harga obat-obatan dengan dua UU. Pertama, menggunakan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, menggunakan UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dia menganggap kedua UU tersebut tepat untuk diterapkan terhadap pelaku pemain harga obat-obatan.

Pasal-pasal di kedua UU itu dapat menjerat para pelaku yang melakukan penjualan harga di atas rata-rata atau di atas rata-rata harga tertinggi,” ujarnya dalam sebuah webinar.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai penjualan obat-obatan bagi Covid-19 dan alat kesehatan dengan harga tidak wajar di tengah pandemi perlu tindakan tegas. Seperti menggunakan instrumen UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurutnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga dapat memanggil pelaku usaha yang memainkan harga obat-obatan Covid-19 atau alat kesehatan.

Penegak hukum pun perlu menelusuri pelaku usaha menjual dengan harga tidak wajar. “Apakah mereka mendapatkan harga murah dan menjual dengan harga tinggi. Atau mendapat harga tinggi dan menjual dengan harga lebih tinggi. Ini harus dibuktikan, dan harus ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum,” kata dia.

Bila terbukti adanya permainan harga, polisi wajib bergerak mengambil tindakan tegas. Seperti memulai melakukan investigasi, mendatangi apotik maupun toko obat yang menjual dengan harga meroket. Termasuk menjual oksigen dengan harga melambung tinggi di atas harga normal. Dia mengingatkan agar para penjual tak mengambil kesempatan di balik kesempitan yang dialami banyak pasien Covid-19 untuk mengambil keuntungan besar.

Dia melanjutkan kepolisian setelah melakukan penyelidikan dapat menggunakan UU 8/1999 lantaran merugikan konsumen dan UU 7/2014 yang menjerat pelaku yang mempermainkan harga. Menurutnya, pengenaan UU Perdagangan memang jauh lebih tepat. Seperti rumusan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan menyebutkan, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang”.

“Pasal itu melarang pelaku usaha memainkan harga barang yang menjadi kebutuhan masyarakat,” kata Suparji.  

Ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar merujuk Pasal 107 UU Perdagangan. Pasal 107 menyebutkan, “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)”.

“Dengan aturan itu, memungkinkan polisi melakukan penangkapan dan penahanan. Disinilah polisi harus bertindak tegas, tidak boleh ada yang main-main dengan situasi sulit seperti sekarang ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait