Banyak peraturan warisan peraturan jaman dahulu yang belum disesuaikan dengan keadaan sekarang. Salah satunya, peraturan tentang laut teritorial dan maritim. Padahal peraturan yang jelas dan tegas sangatlah penting, disesuaikan dengan perkembangan jaman demi pemanfaatan laut yang maksimal.
Menanggapi pentingnya perundang-undangan tersebut, The Habibie Centre (THC), institusi yang berdedikasi untuk mempromosikan dan mengembangkan konsep demokrasi di Indonesia, menggagas disusunnya RUU Maritim.
Melalui Maritim Continent Institute, salah satu divisinya yang mempunyai kepedulian terhadap bidang Kelautan dan fenomenanya, THC menyusun sebuah tim kecil RUU Maritim. Tim kecil ini terdiri dari beberapa pengamat dan pakar hukum maritim, seperti Husseyn Umar,Hidayat Mao, Olga Suyono, Rudi Rizki, Hasyim Djalal.
Tim kecil ini diberi tugas untuk merumuskan saran menyusun suatu perundang-undangan di bidang maritim yang lengkap, di mana terdapat UU induk yang memayungi perundang-undangan lainnya.
Namun, niat untuk menyusun UU yang memayungi UU lain semacam UU Pokok tidak dapat diwujudkan. Alasannya, telah ada kesepakatan di lembaga legislatif untuk tidak menggunakan itu lagi. Saran yang berupa rangkuman diskusi ini telah disampaikan pada pemerintah (Menteri Perhubungan) yang kini sedang giat menyempurnakan RUU di bidang Kemaritiman.
Peraturan bidang kemaritiman
Selama ini, Indonesia pernah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan laut. Peraturan tersebut antara lain Kitab Undang-undang Hukum Dagang/KUHD (Wet Bock Van Koophandel), UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, dan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu terdapat juga UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut), UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, serta Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939.