UU Cipta Kerja Dorong Transformasi Ekonomi Digital
Berita

UU Cipta Kerja Dorong Transformasi Ekonomi Digital

Banyak pelaku ekonomi dinilai belum siap, sehingga dari sisi sektor riil akan tertinggal.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Disetujuinya RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang masih mendapat perhatian dari masyarakat. Sorotan yang datang beraga, ada yang positif, tidak sedikit pula yang negative. Namun, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, menilai kemudahan perizinan bagi UMKM dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja atau Ciptaker membantu perusahaan rintisan atau startup ekonomi digital memperoleh perizinan.

"Saya kira ini juga sangat membantu startup-startup, khususnya di bidang ekonomi digital untuk bisa mendaftarkan usahanya," ujar Media dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (22/10) lalu.

Menurutnya, aspek-aspek perizinan yang diatur dalam Omnibus Law cukup positif dalam hal ini karena memungkinkan izin usaha bisa didaftarkan dengan mudah. Peneliti Indef itu juga menambahkan bahwa transformasi digital merupakan hal yang tak terhindarkan saat ini dan akan tetap terus berjalan.

Hal ini dikarenakan berkaitan dengan globalisasi dan teori perilaku masyarakat yang sekarang sudah mulai beralih kepada aspek digital. "Dari regulasi yang dibutuhkan memang dorongan-dorongan supaya transformasi digitalisasi ini bisa diakselerasi," kata Media. (Baca Juga: Soroti Birokrasi Perizinan Berusaha, Begini Pandangan Advokat tentang UU Cipta Kerja)

Berkaitan dengan Omnibus Law, sebetulnya kalau merunut bagaimana masa depan dunia kerja atau the future of work terkait dengan digitalisasi UMKM ini, Bank Dunia telah menyinggung dalam beberapa tahun terakhir bahwa pemerintah perlu menerapkan adanya fleksibilitas kerja.

Kenapa? Karena sektor-sektor seperti dunia digital membutuhkan tenaga kerja yang terspesialisasi atau specialized, namun lebih fleksibel waktu kerjanya. "Dengan demikian model-model tenaga kerja kontrak dan alih daya (outsource) untuk tenaga kerja yang terspesialisasi di bidang ekonomi digital, memang diperkirakan bisa menggenjot proses transformasi ekonomi digital di negara berkembang," ujar Media.

Dia menilai bahwa Omnibus Law yang memungkinkan kontrak kerja dan alih daya yang semakin dipermudah tidak hanya untuk sektor pendukung, memang diharapkan untuk bisa mendorong ke arah struktur ketenagakerjaan di sektor ekonomi digital tumbuh secara positif.

Kendati demikian upaya untuk menggenjot transformasi ekonomi digital melalui Omnibus Law ini perlu juga didukung dengan pembangunan infrastruktur digital yang memadai di seluruh wilayah Indonesia.

Sebelumnya, advokat yang juga pendiri kantor hukum Assegaf Hamzah & Partner (AHP), Akhmad Fikri Assegaf, mengungkapkan problem over regulasi yang berakibat terhadap tumpang tindihnya sebuah norma seringkali dijumpai di sektor perizinan berusaha. Menurut Fikri, tumpang tindih peraturan di sektor perizinan berdampak terhadap panjangnya rantai birokrasi perizinan sehingga menjadi salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan dunia usaha di Tanah Air. 

Da mengakui jika sistem perizinan yang selama ini diterapkan oleh pemerintah menyisakan problem dari aspek regulasi dan implementasi di lapangan. Jika dari aspek regulasi, investor menemukan hambatan terhadap ketentuan perizinan yang saling tumpang tindih antara pusat dan daerah, maka dari aspek implementasi terdapat budaya birokrasi yang sangat menghambat pertumbuhan dunia usaha, seperti problem profesionalitas sumber daya manusia yang menangani sektor perizinan.

Karena itu, Fikri menilai kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja dengan mayoritas substansinya yang mengatur terkait perizinan dan investasi akan mendatangkan manfaat yang begitu besar, terutama terhadap kemudahan dan pertumbuhan dunia usaha di Indonesia ke depan. “Menurut saya kalau kita yang fokus di sektor perizinan, ini manfaatnya besar sekali,” ujar Fikri kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Fikri optimis penataan sektor regulasi perizinan lewat instrumen UU Cipta Kerja akan berdampak terhadap rampingnya birokrasi perizinan, sehingga tidak hanya memangkas proses-proses yang tidak perlu, tapi juga mendatangkan efisiensi biaya, serta satu hal yang juga tidak kalah penting yakni mengurangi potensi abuse oleh aparat sipil yang menangani sektor perijinan di pusat maupun daerah.    

Tantangan bagi UMKM

Peneliti senior Indef Aviliani menyebutkan mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia belum siap menghadapi era digital terutama saat masa pandemi Covid-19. “Banyak pelaku ekonomi belum siap sehingga bisa jadi dari sisi sektor riil mereka akan tertinggal,” katanya seperti dilansir Antara.

Aviliani menyatakan pelaku ekonomi utama yang sangat belum siap menghadapi adanya digitalisasi adalah di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga perkembangannya sangat lambat. Ia menuturkan sektor UMKM perlu mendapatkan pendampingan dari pemangku kepentingan dalam rangka pengenalan mengenai digitalisasi sehingga mereka dapat memanfaatkan momen ini untuk memacu pertumbuhan lebih baik.

“Sektor UMKM itu perlu ada pendampingan untuk percepatan karena kalau tidak, harusnya mereka bisa lebih cepat nanti mereka bisa lebih lambat karena mereka tidak bisa memanfaatkan momen ini,” katanya.

Tak hanya sektor UMKM, Aviliani mengatakan masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak mempersiapkan diri ke arah digitalisasi sehingga akan memperlambat proses untuk ke masa peralihan. Terlebih lagi, menurut Aviliani saat ini penjualan secara online meningkat sangat signifikan seiring dengan adanya peralihan aktivitas masyarakat ke teknologi digital selama pandemi. Ia menegaskan ketidaksiapan perusahaan dalam menyambut digitalisasi akan sangat merugikan bahkan keberlangsungan produktivitasnya juga dapat terancam.

Ia mencontohkan, saat ini banyak rumah sakit yang sepi karena masyarakat lebih memilih untuk konsultasi atau membeli obat melalui platform online karena takut adanya penularan Covid-19. “Rumah sakit bisa tutup gara-gara mereka tidak bisa mengikuti pola yang ada. Dari sisi rumah sakit dan kesehatan yang seharusnya meningkat tapi ada juga yang enggak mampu untuk beradaptasi sehingga mereka harus tutup,” tegasnya.

Aviliani menyatakan perusahaan yang paling siap dalam menyambut dan mengadaptasi sistem digital selain e-commerce adalah sektor perbankan dan keuangan. “E-commerce karena mereka sudah menciptakan marketplace, sudah menciptakan kondisi sudah digitalisasi gitu. Jadi mereka tidak masalah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait