UU Cipta Kerja Dinilai Jauh dari Prinsip Good Governance
Berita

UU Cipta Kerja Dinilai Jauh dari Prinsip Good Governance

Kurangnya transparansi hingga minimnya ruang partisipasi publik dalam pembuatan UU Cipta Kerja ini. Problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik yakni ketegasan penegakan hukum, dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo juga menilai proses terbitnya UU Cipta Kerja jauh dari semangat dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengingat proses pembahasan dan penyusunan UU ini sangat tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat.

Dia mengakui argumentasi pemerintahan Joko Widodo bahwa UU Cipta Kerja memberi kontribusi dalam pencegahan korupsi, khususnya aspek yang berkaitan penyederhaan prosedur perizinan. Sebab, selama ini memang izin mendirikan sebuah usaha berbelit-belit, panjang prosedurnya, banyak praktik pungutan liar (Pungli), dan setoran ilegal.

“Dengan mengatur prosedur secara lebih sederhana dapat memangkas praktik pungli di sejumlah titik rawan, bahkan dapat dihilangkan. Satu dari sekian indikator rendahnya skor Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia menyangkut soal birokrasi dan prosedur perizinan berusaha yang panjang dan berbelit,” kata Adnan Topan Husodo dalam keterangannya, Sabtu (17/10/2020).   

Ironisnya, biaya mengurus izin dianggap lebih mahal dibanding negara lain. Bertahun-tahun sudah, skor EoDB Indonesia kalah jauh dari negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Hal ini yang menyebabkan arus investasi tidak lancar. Ujungnya, Indonesia tak dilirik sebagai tempat berinvestasi oleh investor global. “Semua aspek di atas tak terbantahkan merupakan masalah tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki, bukan menerbitkan UU Cipta Kerja,” kata dia.

Adnan mengingatkan rapot kinerja pemberantasan korupsi mesti dilihat dari berbagai indikator. Tak hanya indikator perbaikan tata kelola sektor perizinan kemudahan berusaha saja. “Pemberantasan korupsi sebagai sebuah strategi komprehensif tak dapat diperlakukan secara parsial sesuai kehendak pemerintah,” kritiknya.

Tiga penghambat

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Oce Madril menilai Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi menjadi parameter yang lebih luas, ketimbang menyoroti sektor bisnis semata. Namun, aspek penegakan hukum, perbaikan sektor politik, demokrasi, serta proteksi hak masyarakat, termasuk pers dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan.

“Sejumlah data pendukung dalam CPI mengafirmasi bahwa problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik, ketegasan penegakan hukum, dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Oce Madril.

Tags:

Berita Terkait