UU Cipta Kerja Dinilai Batasi Partisipasi Publik dalam Proses Persetujuan Lingkungan
Utama

UU Cipta Kerja Dinilai Batasi Partisipasi Publik dalam Proses Persetujuan Lingkungan

Perizinan berusaha tidak bisa diterbitkan jika tidak ada persetujuan lingkungan. Perubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dapat berdampak terhadap izin pembuangan limbah karena diintegrasikan dalam izin lingkungan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Foto. LeiP
Foto. LeiP

Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak terhadap sejumlah UU, salah satunya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebagian pasal dalam UU PPLH mengalami perubahan, dihapus, dan ditambah terutama yang berkaitan dengan keputusan perizinan lingkungan hidup, seperti analisis dampak lingkungan hidup (amdal) dan izin lingkungan.

Deputi Program Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Grita Anindarini mengingatkan UU PPLH menekankan keterlibatan masyarakat dalam menyusun amdal dan izin lingkungan. Dalam menyusun amdal, perempuan yang disapa Ninda itu mengatakan UU PPLH mengamanatkan agar masyarakat terlibat sebelum penyusunan dokumen kerangka acuan amdal melalui pengumuman rencana kegiatan/usaha dan konsultasi publik.

Selain itu, masyarakat juga terlibat dalam komisi penilai amdal dalam proses penilaian amdal, RKL-RPL sampai terbitnya surat keputusan kelayakan/ketidaklayakan perizinan lingkungan hidup. Pengumuman permohonan izin lingkungan juga memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lainnya dalam proses pengambilan keputusan perizinan.

Dia menerangkan dokumen amdal melibatkan partisipasi masyarakat mulai dari masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala keputusan dalam proses amdal. Tapi, dalam perubahan UU PPLH melalui UU Cipta Kerja membatasi pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal yakni hanya masyarakat yang terdampak langsung.

“Pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh tidak dilibatkan,” kata Ninda dalam diskusi daring bertema “Izin Lingkungan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja”, Senin (11/1/2020). (Baca Juga: Melihat Pengaturan Amdal dalam UU Cipta Kerja)

UU Cipta Kerja pun menghapus Komisi Penilai Amdal. Padahal, Komisi ini melibatkan masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup. UU Cipta Kerja mengganti Komisi itu dengan tim uji kelayakan lingkungan hidup yang anggotanya hanya terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Pengumuman untuk setiap permohonan izin lingkungan juga dihapus. UU Cipta Kerja hanya mewajibkan pengumuman untuk keputusan izin lingkungan.

Ninda menegaskan pelibatan masyarakat dalam proses penilaian amdal sangat penting. Dalam RPP tentang Penilaian Amdal, Ninda menyebut ada rapat penilaian substansi amdal oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung, ahli terkait, instansi sektor yang menerbitkan persetujuan teknis, instansi pusat, provinsi, kabupaten/kota terkait dengan rencana dan/atau dampak usaha dan/atau kegiatan.

Selain itu melibatkan masyarakat, pemerhati lingkungan hidup dan masyarakat yang terpengaruh segala bentuk keputusan yang telah menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapan yang relevan dapat ikut serta dalam tahapan ini (penilaian substansi amdal). Kendati melibatkan masyarakat, tapi RPP ini tidak menegaskan apakah masyarakat memiliki hak suara atau tidak dalam pengambilan keputusan perizinan lingkungan hidup.

Menurutnya, pelibatan masyarakat dalam penilaian amdal penting agar komunitas memiliki rasa tanggung jawab dan memiliki terhadap proyek yang berjalan, serta mengawal apakah proyek itu ditujukan untuk kepentingan umum atau tidak. “Jika partisipasi publik dilakukan secara komprehensif, dampak lingkungan dapat dicegah, proyek mendapat dukungan masyarakat, dan pembangunan yang berkelanjutan akan tercapai,” ujarnya.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Alfeus Jebabun, mengatakan dari penelitian yang dilakukannya periode Oktober 2019-Mei 2020 terhadap putusan tata usaha negara menemukan ada 164 putusan terkait lingkungan hidup mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan PK. Dari 164 putusan itu, 54 putusan mengenai ketiadaan amdal terkait izin usaha.

“Ada juga isu mengenai keterlibatan masyarakat dan organisasi lingkungan dalam komisi amdal,” kata Alfeus Jebabun dalam kesempatan yang sama.

Guru Besar FHUI, Prof Andri G Wibisana, berpendapat persetujuan lingkungan sama seperti perizinan yang sifatnya permanen dan tidak sekali selesai. Karena itu, tidak tepat pandangan yang menyebut persetujuan lingkungan ini sebagai keputusan kilat atau sekali selesai (enmalig). Menurutnya, persetujuan lingkungan ini bisa digugat ke pengadilan.

Kendati demikian, Andri mengatakan perubahan izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dapat berdampak terhadap izin pembuangan limbah karena selama ini diintegrasikan dalam izin lingkungan. Menurut Andri, UU Cipta Kerja tidak konsisten, misalnya Pasal 60 UU No.32 Tahun 2009 tidak diubah. Ketentuan ini melarang setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Kemudian, Pasal 123 tentang integrasi segala izin bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diterbitkan Menteri, Gubernur, atau bupati/walikota dalam izin lingkungan hidup juga tidak dihapus. Tapi, anehnya UU Cipta Kerja mengubah Pasal 1 angka 35 UU PPLH dari izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Selain itu, Andri menyoroti minimnya pengawasan dan sanksi dalam UU Cipta Kerja, misalnya tidak ada sanksi administratif terhadap pelanggaran persetujuan lingkunggan.

“Melanggar syarat dalam izin berusaha ada sanksinya, tapi jika melanggar persetujuan lingkungan tidak ada sanksi,” kata dia.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yazid Nurhuda, mengatakan persetujuan lingkungan terintegrasi dalam perizinan berusaha. Persetujuan lingkungan menjadi dasar dalam penerbitan perizinan berusaha. Persyaratan amdal dan UKL-UPL tercantum dalam perizinan berusaha. Matrik RKL-RPL yang ada dalam perizinan berusaha menjadi dasar pengawasan perizinan dan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran klausul persyaratan dan kewajiban lingkungan dalam perizinan berusaha.

“Perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah tidak bisa diterbitkan jika tidak ada persetujuan lingkungan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait