UU Cipta Kerja, Produk Legislasi yang Tutup Ruang Demokrasi
Utama

UU Cipta Kerja, Produk Legislasi yang Tutup Ruang Demokrasi

Karena mengabaikan sejumlah pasal dalam Tata Tertib DPR, sehingga pengesahan RUU Cipta Kerja tergesa-gesa tanpa mendengar aspirasi publik. Meski menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, F-PAN menyampaikan 8 catatan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Praktik pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna dinilai sebagai produk hukum yang menutup ruang demokrasi. Sebab, pembahasan relatif cepat hanya dalam hitungan bulan disahkan tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat berkepentingan. Karena itu, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna tidak memenuhi syarat formil pembentukan UU.     

“Proses pembentukan UU Cipta Kerja menunjukan DPR dan pemerintah tidak sedang menjalankan fungsi legislasi dengan baik,” ujar Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi kepada Hukumonline, Selasa (6/10/2020). (Baca Juga: Disahkan, Ini Poin Penting dalam UU Cipta Kerja)

Dia menilai DPR telah menciderai fungsi representasi sebagai wakil rakyat karena pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa membuka dialog dengan publik secara terbuka. Baginya, proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi jelas tergambar dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Praktik penyusunan RUU yang cenderung “ugal-ugalan” ini sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja ketika  rapat kerja pertama langsung membentuk panitia kerja (Panja).

Padahal, fraksi-fraksi di DPR saat itu belum rampung menuntaskan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Bila mengacu Pasal 151 ayat (1) Tatib DPR, Panja dibentuk setelah rapat kerja selesai dilakukan. Demikian pula Pasal 154 ayat (1) Tatib DPR mengatur rapat kerja membahas seluruh materi RUU sesuai DIM dari setiap fraksi di DPR atau DPD jika RUU terkait kewenangan daerah.  

Tahapan ini tidak terlihat dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR. Pembentukan Panja pun tergesa-gesa lantaran belum menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang semestinya dilakukan pada tingkat rapat kerja sesuai Pasal 165 ayat (1) Tatib DPR. “Tertutupnya ruang demokrasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja disebabkan karena ruang partisipasi (masyarakat) minim. Ruang-ruang yang terbuka hanya formalitas tanpa makna. Rapat-rapat yang disiarkan langsung hanya bersifat pemaparan, bukan pengambilan keputusan,” ujarnya.

Selain itu, ketiadaan draf RUU Cipta Kerja terbaru yang disebarluaskan ke publik menyebabkan ada berbagai substansi RUU Cipta Kerja lepas dari pantauan publik. Apalagi ditambah jumlah pasal yang banyak dan format penulisan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus  law yang sulit untuk dipahami. Terutama bagi masyarakat yang tidak terbiasa membaca format peraturan.

Salah satu substansi yang baru masuk belakangan dan kemudian tidak banyak terbahas adalah pengaturan mengenai pajak terkait UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU No. 16 Tahun 2009. Kemudian UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan joUU No. 36 Tahun 2008; dan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah jo UU No. 42 Tahun 2009.  

Karena itu, proses pembahasan yang tidak transparan ini sangat berpotensi terjadi penambahan atau pengurangan pasal dalam RUU Cipta Kerja tanpa terdeteksi. “Keseluruhan penambahan pasal di tengah jalan ini patut ditanyakan, apa urgensi dan bagaimana para pemangku kepentingan terkait memberi masukan terhadap ketentuan ini,” ujarnya.

Catatan F-PAN

Terpisah Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menegaskan meski fraksi partainya menyetujui RUU Cipta Kerja, tapi dengan sejumlah catatan. Ada beberapa poin yang menjadi catatan F-PAN. Pertama, pembahasan RUU Cipta Kerja sangat tergesa-gesa dan minim partisipasi public, sehingga tidak berlebihan bila hasil pembahasan RUU Cipta Kerja kurang optimal. Karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas.

Kedua, di sektor kehutanan, aturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja masih mengsampingkan partisipasi masyarakat, khususnya penghapusan izin lingkungan; penyelesaian konflik lahan hutan; masyarakat adat dan perkebunan sawit; dan tumpang tindih izin areal hutan dengan izin konsesi pertambangan.

Ketiga, sektor pertanian. Menurutnya fraksinya mendorong pemerintah agar kran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar. Pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani. “Pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus belum menjadi agenda dalam RUU Cipta Kerja,” kata dia.

Keempat, rumusan norma Pasal 49 RUU Cipta Kerja tentang jaminan produk halal, khususnya Pasal 4A mengatur kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang didasarkan atas pernyataan pelaku UMK (self declare). Meskipun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), tapi pasal itu berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.

Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) ini menilai self declare merupakan pengakuan sepihak, yang belum tentu dapat diverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, kata Saleh, semestinya RUU Cipta Kerja bisa mengatur lebih spesifik terkait labelisasi produk halal melalui lembaga yang resmi dan disetujui.

Kelima, di bidang ketenagakerjaan belum adanya penjelasan secara gamblang mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) agar tidak menimbulkan multiinterpretasi. Keenam, penghapusan Pasal 64 dan 65 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Intinya, penghapusan pengaturan mengenai dapatnya perusahaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.

“Pengaturan ini bakal melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan hak dan fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan,” bebernya.  

Menurut Saleh, perusahaan-perusahaan nantinya bisa jadi secara membabi buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Ketujuh, dalam Pasal 88B mengatur upah ditetapkan berdasaran satuan waktu dan/atau hasil. Bagi Saleh, rumusan norma itu berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh. Sebab, penghasilan yang diterima pekerja/buruh bisa berada di bawah upah minimum. Menurutunya, ketentuan tersebut seharusnya cocok diterapkan bagi pekerja profesional, bukan buruh/pekerja.

Kedelapan, jumlah pemberian pesangon memang tetap di angka 32 kali gaji. Hanya saja, yang berbeda ialah pesangon tidak seluruhnya dibayarkan pemberi kerja (perusahaan), tapi juga dibayarkan oleh pemerintah. Misalnya, saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji. Sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

“Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon. Namun skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab, skema JKP ini direncanakan akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN),” katanya.

Tags:

Berita Terkait