Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Sub Komisi BUMN Komisi V DPR-RI, Azwar Daini Tara kepada hukumonline. Pasalnya, di akhir masa sidang lalu pemerintah dan DPR sudah tengah hangat-hangatnya membahas RUU yang sudah diajukan oleh pemerintah sejak 5 bulan lalu itu.
RUU BUMN, seperti disampaikan Azwar, akan menjadi payung hukum bagi 168 BUMN yang ada di Inonesia saat ini. Karena hingga saat ini, belum ada satu pun instrumen yang bisa menjadi payung bagi BUMN-BUMN yang ada, kecuali satu pasal yang selalu "dibanggakan", yaitu pasal 33 UUD 1945.
Pengaturan privatisasi dalam RUU BUMN tentu saja mendapat tempat khusus dan tersendiri. Pasalnya, banyak ketentuan dan rambu-rambu yang dimasukkan dalam pasal tersebut bagi pelaksanaan privatisasi BUMN.
Rambu yang paling penting untuk dimasukkan dalam bagian tersebut adalah bahwa BUMN yang boleh diprivatisasi hanya perusahaan yang tidak menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak. "Artinya, bukan BUMN-BUMN yang strategis bagi negara yang diprivatisasi. Ini harus diperhatikan betul," ujar Azwar.
Sementara itu, mengenai privatisasi BUMN yang telah telanjur berjalan, Azwar mengatakan agar privatisasi itu tetap berjalan seperti biasa. "Privatisasi yang sudah ada jalan saja terus. Tetapi kami mengharapkan agar privatisasi jangan dilakukan semata-mata untuk menutupi defisit anggaran belanja. Tetapi, privatisasi juga untuk pengembangan BUMN yang bersangkutan," papar Azwar lebih jauh.
Dalam pengantar pemerintah terhadap RUU BUMN yang disampaikan oleh Meneg BUMN Laksamana Sukardi juga telah dijelaskan bahwa tujuan utama privatisasi BUMN bukan semata-mata menutup defisit APBN. Melainkan, untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham BUNM serta mempercepat penerapan prinsip-prinsip good corporate government, sehingga dapat mencegah intervensi politik dan KKN.
Program privatisasi selama ini dilaksanakan dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada seperti Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004 dan Tap MPR No. 10/MPR/2001 serta UU No. 19 Tahun 2001 tentang APBN Tahun 2002 dengan tetap berkonsultasi dengan DPR-RI.