Usut Tuntas Skandal Jiwasraya
Utama

Usut Tuntas Skandal Jiwasraya

​​​​​​​Persoalan ini bisa berimbas buruk terhadap industri asuransi nasional. Penegakan hukum dan penyelamatan perusahaan harus dilakukan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Sumber: Istimewa
Sumber: Istimewa

Persoalan kegagalan bayar polis perusahaan asuransi PT Asuransi Jiwasraya Persero menyita perhatian publik saat ini. Pasalnya, buruknya kinerja perusahaan tersebut bukan sekadar kesalahan tata kelola melainkan ada dugaan fraud yang dilakukan para direksi. Persoalan ini semakin memanas lantaran penyelesaian masalah ini tak kunjung jelas. Desakan sejumlah pihak agar regulator seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menuntaskan kasus ini demi memberi kepercayaan publik.

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kasus Jiwasraya rentan terhadap kelangsungan bisnis asuransi ke depannya. Hal ini lantaran para pemegang polis belum juga mendapatkan pencairan dari Jiwasraya. Dia mendorong pemerintah selaku pemilik Jiwasraya untuk mempercepat penyelesaian kasus ini. Baik secara struktural maupun secara hukum.

 

Bhima mengusulkan agar Jiwasraya harus menerbitkan utang demi mendapatkan dana segar untuk membayar tunggakan klaim, meski hal itu akan dilakukan bertahap. Penerbitan ini bisa dilakukan melalui anak usaha barunya, yaitu Jiwasraya Putra. "Berikutnya lakukan proses penegakan hukum yang lebih cepat terhadap oknum direksi yang lakukan fraud, miss management maupun dugaan korupsi yang rugikan negara," ujar Bhima saat dikonfirmasi Hukumonline, Jumat (3/1).

 

Selain itu, Bhima menilai penyertaan modal negara (PMN) dan pembentukan holding asuransi juga bisa menjadi solusi penyelamatan Jiwasraya. Namun, Bhima mengingatkan, penyelamatan lewat PMN banyak risikonya pasalnya uang dari APBN tersebut bisa saja malah jadi "bancakan". "Nanti bukan untuk bayar polis tapi malah jadi fraud. Kita belajar dari kasus century, bailout justru berisiko memunculkan fraud baru," paparnya.

 

Sementara terkait holding asuransi BUMN bisa jadi solusi asalkan dihitung dampak ke BUMN yang menanggung risiko jiwasraya. "Solusi ini memang paling pahit, karena BUMN keuangan yang sehat bisa jadi tumbal Jiwasraya," ungkapnya.

 

Oleh sebab itu, lanjut Bhima, penerbitan utang oleh anak usaha yakni Jiwasraya Putra menjadi hal yang paling minim risiko untuk menyelamatkan Jiwasraya sesegera mungkin. Hingga November 2019 ada 13.095 pemegang polis yang proses klaimnya tertunda dengan total nilai mencapai lebih dari Rp11,5 triliun.

 

"Jika penyelesaian berbelit belit dan prosesnya lama bisa menimbulkan krisis kepercayaan yang sistemik ke seluruh sektor asuransi dan jasa keuangan di Indonesia. Orang akan kapok beli produk asuransi, ada semacam trauma," tambahnya.

 

Dalam mengantisipasi kasus ini terulang lagi, Bhima juga mengapresiasi upaya OJK terkait upaya bersih-bersih pasar modal yang belakangan gencar dilakukan. Menurutnya, kasus Jiwasraya ini tejadi dari adanya dugaan oknum yang menjalankan praktik goreng-goreng saham yang pada ujungnya merugikan para pemegang polis Jiwasraya.

 

"Tugas OJK mengawasi praktik pembelian saham gorengan yang rentan manipulasi. Di sini pentingnya bersih-bersih bank dan jasa keuangan BUMN. Jika ketahuan membeli saham gorengan, ada sanksi untk direksinya. Itu kewenangan OJK," pungkas dia.

 

Baca:

 

Kronologis versi OJK

Berdasarkan catatan OJK, kasus ini dimulai pada 2004, di mana perusahaan sudah memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp2,769 triliun. Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban. Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp5,7 triliun dan Rp6,3 triliun pada 2009.

 

Kemudian langkah untuk re-asuransi membawa nilai ekuitas surplus Rp1,3 triliun per akhir tahun 2011. Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY).

 

Pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Laporan keuangan tahun itu masih positif, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp175 juta.

 

Namun pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun. Pada Mei 2018, Jiwasraya mengalami pergantian direksi. Direksi yang baru menyampaikan ada hal yang tidak beres terkait laporan keuangan perusahaan kepada Kementerian BUMN.

 

Menurut hasil audit KAP (pada laporan keuangan 2017), ada koreksi laporan keuangan interim dari yang semula Rp2,4 triliun menjadi Rp428 miliar. Laporan audit BPK tahun 2018 juga menyebutkan bahwa perusahaan berinvestasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi.

 

Lalu pada Oktober 2018, perusahaan mengumumkan ketidaksanggupannya membayar polis nasabah JS Saving Plan senilai Rp802 miliar. Adapun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen, Jiwasraya butuh modal Rp32,89 triliun. Sementara, aset perusahaan tercatat senilai Rp23,26 triliun, tapi kewajibannya mencapai angka Rp50,5 triliun. Ekuitas negatif Rp 27,24 triliun dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp15,75 triliun hingga sekarang.

 

Hukumonline.com

 

Skema Ponzi

Sementara itu, pengamat ekonomi dan perpajakan, Yustinus Prastowo berpendapat, produk asuransi yang mulai diterbitkan Jiwasraya pada medio 2012 seperti produk investasi berskema Ponzi. Ini ditandai dengan janji pemberian bunga pasti (fix rate) di angka 9% hingga 13% untuk produk JS Saving Plan, dan produk asuransi tradisional dengan bunga hingga 14%.

 

Sebagai informasi, investasi Ponzi merupakan salah satu modus investasi palsu yang membayar keuntungan investor dari uang mereka sendiri, atau uang dari investor berikutnya. Secara gamblang, pembayaran atas investasi bukan dari keuntungan yang diperoleh dari lembaga yang menjalankan bisnis keuangan tersebut.

 

"Jadi skema Ponzinya itu seperti gali lobang tutup lobang dengan cari premi baru untuk bayar keuntungan nasabah dari premi yang lama. Kemudian untuk menunjukkan performa yang bagus, dilakukan window dressing atau poles laporan keuangan dengan premi dimasukkan sebagai pendapatan, bukan juga dicatat sebagai utang," terang Yustinus.

 

Yustinus mengatakan, sebelum menjual produk asuransi dengan iming-iming bunga pasti harusnya direksi lama Jiwasraya bersama regulator lebih dulu menghitung manfaat dan risiko produk secara cermat. Ini dimaksudkan agar ke depannya perusahaan tidak mengalami gagal bayar (default) yang akhirnya merugikan investor atau nasabah.

 

Hal ini semakin runyam ketika produk ini malah dijadikan alat oleh sejumlah pihak untuk melakukan korupsi secara terstruktur dan sistematis, dengan memanipulasi laporan keuangan atau window dressing. "Produk ini kan berisiko tinggi, apalagi untuk asuransi. Beda kalau non asuransi mungkin masih bisa ditolerir. Lalu soal pengawasan, kenapa produk ini disetujui," tuturnya.

 

Menyusul adanya sederet masalah yang tengah terjadi di Jiwasraya, Yustinus pun meminta pemerintah dan penegak hukum untuk menyelesaikan kasus dugaan korupsi Jiwasraya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah dan investor terhadap industri keuangan nasional.

 

"Saya yakin ini sudah terjadi lama dan tidak mungkin korupsi sebesar itu terjadi tiba-tiba. Bahkan mungkin fraud sudah terjadi sebelum 2006. Jadi agak aneh ketika ada pihak yang mengatakan bahwa fraud baru terjadi dalam 2 tahun," tegasnya.

 

Baca:

 

Pengawasan OJK

Terpisah, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyampaikan bahwa OJK terus mengawasi Jiwasraya sejak peralihan fungsi pengawasan dari BAPEPAM-LK pada Januari 2013. Saat dialihkan kondisi Jiwasraya berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2012 mengalami surplus sebesar Rp1,6 triliun. Surplus tersebut dikarenakan Jiwasraya melakukan penyehatan keuangan dengan mekanisme financial reinsurance yang bersifat sementara dan OJK meminta Jiwasraya tetap harus menyiapkan langkah-langkah perbaikan jangka panjang yang berkelanjutan (sustainable).

 

“Apabila tidak menggunakan mekanisme financial reinsurance, kondisi Jiwasraya masih defisit sebesar Rp5,2 triliun,” katanya kepada Hukumonline, Jumat (3/1).

 

OJK sendiri telah mengingatkan Jiwasraya untuk mengevaluasi produk saving plan dan menyesuaikan guaranted return sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perusahaan. Jika Jiwasraya berencana akan menghentikan seluruh produk saving plan, maka perlu memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan.

 

Sejak awal 2018 hingga sekarang, lanjut Sekar, terdapat lima langkah pengawasan yang dilakukan OJK terhadap Jiwasraya. Pertama, OJK telah meminta Jiwasraya untuk menyampaikan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang memuat langkah-langkah penanganan permasalahan. Kedua, RPK yang telah ditandatangani Direksi serta Komisaris Jiwasraya dan memperoleh persetujuan pemegang saham (Kementerian BUMN) telah disampaikan kepada OJK.

 

Ketiga, terhadap pemenuhan kewajiban pemegang polis saving plan yang telah jatuh tempo, OJK telah memantau opsi penyelesaian yang dilakukan Jiwasraya. Terkait hal ini, Jiwasraya memberikan opsi roll over polis dengan skema pembayaran di muka sebesar 7% p.a netto serta opsi bagi yang tidak ingin melakukan roll over dengan memberikan bunga pengembangan efektif sebesar 5,75%  p.a netto.

 

Keempat, OJK meminta bank-bank partner untuk melakukan komunikasi yang baik kepada nasabahnya yang menjadi pemegang polis saving plan. Kelima, OJK juga mengingatkan kepada Direksi Jiwasraya untuk lebih memperhatikan implementasi tatakelola yang baik, pengelolaan manajemen risiko yang lebih baik, dan melakukan kehati-hatian investasi yang didukung dengan pemanfaatan teknologi. Selain itu, Jiwasraya harus senantiasa berkoordinasi dan melaporkan kepada OJK serta pemegang saham (Kementerian BUMN).

Tags:

Berita Terkait