Usulan Subsidi BBN Terbentur Payung Hukum
Berita

Usulan Subsidi BBN Terbentur Payung Hukum

Pemerintah bersama Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia mengusulkan agar subsidi BBN tahun 2010 naik Rp 1,2 triliun. Namun belum ada payung hukum yang mengatur pengalokasian subsidi tersebut.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Usulan Subsidi BBN Terbentur Payung Hukum
Hukumonline

 

Mengenai produksi biodesel, Evita melihat di lapangan banyak produsen biodiesel yang berhenti berproduksi. Menurutnya, hal ini disebabkan karena masalah harga. Kalau harganya disamakan dengan harga BBM fosil maka mereka rugi," terangnya. Untuk itu, pemerintah akan menetapkan harga patokan untuk BBN. "Seperti juga ICP (Indonesia Crude Price), akan ada harga patokan BBN dan juga akan membentuk tim harga BBN," tambahnya.

 

Sebelumnya, produsen BBN mengusulkan agar subsidi BBN bisa meningkat menjadi 9,8 persen pada 2010 dari subsidi 2009 sebesar Rp831,43 miliar. Alasan para produsen adalah meningkatnya biaya infrastruktur penunjang penggunaan BBN. Menurut Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Lisminto, dengan asumsi harga minyak mentah internasional sebesar AS$ 70 per barel dan harga minyak di pasar Singapura Rp 5.300 per liter, maka harga keekonomian bioetanol mencapai Rp 6.500 hingga Rp 7.500 per liter. Sementara harga premium dalam negeri masih disubsidi di level Rp 4.500 per liter.


Oleh karena itu, katanya, Aprobi mengusulkan subsidi untuk bietanol sebesar Rp 1.450 per liter atau Rp 311 miliar untuk volume 214.541 KL per tahun. "Volume bioetanol pada 2010 ditargetkan mencapai satu persen dari total volume premium bersubsidi yakni 214.541 KL per tahun," ujar Lisminto. Dengan asumsi yang sama, harga keekonomian biodiesel mencapai Rp 6.880 - Rp 7.040 per liter. Sementara harga solar bersubsidi saat ini sebesar Rp 4.500 per liter. Maka, nilai subsidi untuk biodiesel diusulkan sebesar Rp 1.660 per liter. Dengan volume satu persen dari premium atau 562.543 KL, sedangkan tambahan anggaran untuk subsidi bioetanol sebesar Rp934 miliar.


Dia juga menambahkan, kemampuan kapasitas terpasang biodiesel sudah mampu memenuhi kebutuhan minimum mandatori yaitu lima persen. Sementara jika semua kapasitas bioetanol diberdayakan, maka hanya memenuhi separuh dari mandatori premium. Dia menjelaskan hanya 35 persen produsen ethanol yang mampu memproduksi bioetanol.
Dari 35 persen itu, hanya sepersepuluh yang memiliki kapasitas produksi 100 ribu KL.

Pemerintah mengusulkan subsidi untuk Bahan Bakar Nabati (BBN) tahun 2010 sebesar Rp 2.000 per liter. Usulan ini berdasarkan pertimbangan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Rinciannya, untuk campuran bioethanol ke premium sebesar satu persen dibutuhkan volume 214.541 Kiloliter (KL) dengan kebutuhan tambahan subsidi Rp 429,08 miliar, dan campuran biodiesel sebesar lima persen dengan volume 562.534 KL dengan kebutuhan tambahan subsidi Rp1,12 triliun, sehingga total subsidi sebesar Rp 1,55 triliun dengan volume BBN 777.075 KL.

 

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (27/5), Dirjen Migas Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo mengatakan, subsidi akan diberikan jika harga pokok BBN lebih tinggi dari pada harga pokok BBM (MOPS/Mean of Platts Singapore). "Jadi, untuk harga BBN tahun 2010 kami usulkan sementara sebesar Rp 2.000 per liter. Ini bukan harga mati tapi perkiraan karena harganya tergantung pada pasar," ujarnya.

 

Namun, keinginan Pemerintah untuk menaikkan subsidi BBN rupanya masih menemui hambatan. Bahkan, Komisi VII menolak membahas masalah tersebut. Alasannya, belum ada payung hukum dalam pengalokasian subsidi tersebut. "Bagaimana kami bisa membahas subsidi kalau payung hukumnya belum ada?" kata anggota Komisi VII Alvin Lie.

 

Payung hukum yang dimaksud adalah revisi Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Tertentu. Menurutnya, guna mendukung pengembangan bahan bakar nabati diberikan melalui insentif pajak, bukan subsidi harga. Seharusnya, penetapan subsidi harus melalui landasan hukum yang kuat, kata Anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

 

Evita Herawati sendiri mengakui sampai saat ini pihaknya masih menunggu revisi Perpres No. 71/2005. "Begitu revisi Perpes selesai, maka akan ada tim harga BBN, tim pengawasan pemanfaatan BBN dan formulasi harga BBN akan ditetapkan," tuturnya.

Tags: