Usulan ‘Penguatan KY’ dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah Yudisial
Berita

Usulan ‘Penguatan KY’ dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah Yudisial

Dikhawatirkan bila KY diubah sebagai mahkamah maka sifatnya bisa pasif, sedangkan komisi bersifat aktif.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Yudisial. Foto RES
Gedung Komisi Yudisial. Foto RES

Wacana penguatan peran Komisi Yudisial (KY) dalam Amandamen UUD 1945 telah diutarakan Ketua Komisi Yudisial dihadapan Wakil Presiden, Maruf Amin, Rabu (6/11) di Kantor Wapres. Penguatan yang dimaksud, khususnya dalam pemberian atau penjatuhan keputusan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang selama ini hanya sebatas rekomendasi (kepada MA, -red).

 

Penguatan lain adalah kemandirian, yang mana KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sejak 15 tahun lembaga pengawas hakim ini berdiri, kewenangan KY cenderung digantungkan pada lembaga lain.

 

Hal itu bisa dilihat dalam seleksi calon hakim agung (CHA). Komisi Yudisial berwenang mengusulkan CHA kepada DPR melalui sistem seleksi CHA. Namun, saat pengusulan beberapa CHA yang lulus serangkaian seleksi masih dapat ditolak oleh DPR.

 

Kemudian, Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011 telah memberi kewenangan kepada KY meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan atau merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim. Namun, kewenangan ini lagi-lagi belum bisa dijalankan.

 

(Baca juga: Berharap ‘Penguatan KY’ Masuk dalam Amandemen Konstitusi)

 

Pada Jumat (22/11), Komisi Yudisial mengadakan acara Konsolidasi Jejaring Komisi Yudisial di Bumi Katulampa, Bogor. Dalam acara ini turut hadir Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, dan pakar hukum tata negara Refly Harun, dan Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR), Firmasyah Arifin. Mereka memberikan usulan serta masukan terkait kewenangan KY.

 

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan isu amandemen UUD 1945 telah ada sejak lama dan pernah didiskusikan dengan MPR, di antaranya Pasal 24 ayat (2) dan (3) terkait Kekuasaan Kehakiman. Ketika itu, KY mendorong selain mempunyai kewenangan melakukan pengawasan, KY berhak melakukan seleksi hakim, hakim agung dan hakim ad hoc.

 

“Namun nama KY menjadi debatable, tapi bisa juga diubah dengan nama Mahkamah Yudisial,” katanya.

 

Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan jika berbicara revisi UU sebuah lembaga, fungsi dan peran lembaga tersebut harus bisa diukur. Bila KY diubah sebagai mahkamah Refly khawatir sifatnya bisa pasif, sedangkan Komisi bersifat aktif. Refly juga mempertanyakan siapa yang akan mengawasi KY bila melakukan kewenangan seperti mahkamah.

 

“Apakah diserahkan kepada masyarakat? Hakim tidak mungkin diawasi oleh masyarakat. Barang kali kita perlukan adalah dua lembaga, yakni ada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan etik dan Mahkamah Yudisial (Mahkamah Etik) untuk menghukum aparat penegak hukum, yang tidak hanya hakim tapi juga jaksa, kepolisian, dan KPK,” kata Refly.

 

Ia menjelaskan hasil pengawasan yang nantinya dilakukan oleh Komisi Yudisial akan masuk ke Mahkamah Yudisial dalam menjalankan fungsi penegakan hukum dalam segi kode etik seperti jaksa, hakim, kepolisian, KPK, tapi non advokat. Menurut Refly, tidak mungkin satu lembaga melaksanakan fungsi pengawasan dan mengadili sekaligus.

 

“Mahkamah Yudisial bisa menjadi Ethics Criminal Justice System. Jadi penegakan etik bisa digunakan lebih dahulu tanpa proses pidananya, tapi melanggar etika belum tentu ada pidananya,” jelasya.

 

Refly mengatakan Mahkamah Yudisial mustahil ada tanpa perubahan konstitusi, tapi bisa juga dilakukan tanpa perubahan konstitusi, yakni mandat yang diberikan oleh UU (Revisi UU KY atau undang-undang baru, -red). “Mahkamah Yudisial amanat dari UU saja, jadi setiap kerja KY tidak ke Mahkamah Agung (MA) tetapi ke Mahkamah Yudisial,” usulnya.

 

Ia pun memiliki tiga usulan skenario yang bisa dilakukan untuk KY. Pertama, ada pengawasan eksternal dan internal. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal dan MA sebagai pengawas internal tidak saling menggantikan, tapi saling melengkapi cuma tujuannya berbeda. Pengawas internal tujuannya pembinaan, sedangkan pengawas eksternal tujuannya penegakan kode etik. Sehingga, kalau ada hakim dipanggil oleh MA, bisa juga dipanggil oleh KY.

 

“Kalau sekarang kan tidak begitu, MA cepat-cepatan memproses hakim nakal. Padahal, kalau diinternal sudah diperiksa, harusnya di eksternal boleh juga dong diperiksa,” ujarnya.

 

Kedua, menghadirkan Mahkamah Yudisial dengan tidak perlu mengubah konstitusi, tetapi dari amanat undang-undang. Menurut Refly, DPR tidak susah untuk membuat aturan seperti itu. Bila ada Mahkamah Yudisial, kata Refly, maka area authority penanganan mengadili kode etiknya tidak hanya MA, tetapi juga hasil pekerjaan Kompolnas, Komjak termasuk Dewas KPK.

 

“Jadi, masuknya ke Mahkamah Yudisial dalam penegakan kode etiknya,” kata dia.

 

Ketiga, mengubah konstitusi dan memasukan Mahkamah Yudisial di dalam konstitusi. “Jadi, Mahkamah Yudisial dalam rangka menjaga keluhuran dan martabat penegak hukum. Kemudian, di bawahnya nanti adalah KY, Komjak dan Kompolnas. Sehingga, ketika ada laporan masuk dari Kompolnas, Komjak dan KY (seperti sebagai jaksanya, -red) lalu diberikan kepada Mahkamah Yudisial. Menurut saya konsep ini bagus semua,” sambung Refly.

 

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR), Firmasyah Arifin, menambahkan KY tidak bisa bergerak sendiri bila ingin membentuk Mahkamah Yudisial. Menurutnya, KY perlu bekerjasama dan bergerak bersama Kompolnas dan Komjak yang menangani persoalan etik penegak hukum.

 

“Bahwa memang ada Mahkamah Yudisial nantinya, tidak hanya hakim di MA dan peradilan di bawahnya, jaksa dan kepolisian saja yang masuk dalam ranah mengadili kode etik yang dilakukan Mahkamah Yudisial, tetapi juga hakim konstitusi,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait