Usulan ‘Penguatan KY’ dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah Yudisial
Berita

Usulan ‘Penguatan KY’ dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah Yudisial

Dikhawatirkan bila KY diubah sebagai mahkamah maka sifatnya bisa pasif, sedangkan komisi bersifat aktif.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Apakah diserahkan kepada masyarakat? Hakim tidak mungkin diawasi oleh masyarakat. Barang kali kita perlukan adalah dua lembaga, yakni ada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan etik dan Mahkamah Yudisial (Mahkamah Etik) untuk menghukum aparat penegak hukum, yang tidak hanya hakim tapi juga jaksa, kepolisian, dan KPK,” kata Refly.

 

Ia menjelaskan hasil pengawasan yang nantinya dilakukan oleh Komisi Yudisial akan masuk ke Mahkamah Yudisial dalam menjalankan fungsi penegakan hukum dalam segi kode etik seperti jaksa, hakim, kepolisian, KPK, tapi non advokat. Menurut Refly, tidak mungkin satu lembaga melaksanakan fungsi pengawasan dan mengadili sekaligus.

 

“Mahkamah Yudisial bisa menjadi Ethics Criminal Justice System. Jadi penegakan etik bisa digunakan lebih dahulu tanpa proses pidananya, tapi melanggar etika belum tentu ada pidananya,” jelasya.

 

Refly mengatakan Mahkamah Yudisial mustahil ada tanpa perubahan konstitusi, tapi bisa juga dilakukan tanpa perubahan konstitusi, yakni mandat yang diberikan oleh UU (Revisi UU KY atau undang-undang baru, -red). “Mahkamah Yudisial amanat dari UU saja, jadi setiap kerja KY tidak ke Mahkamah Agung (MA) tetapi ke Mahkamah Yudisial,” usulnya.

 

Ia pun memiliki tiga usulan skenario yang bisa dilakukan untuk KY. Pertama, ada pengawasan eksternal dan internal. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal dan MA sebagai pengawas internal tidak saling menggantikan, tapi saling melengkapi cuma tujuannya berbeda. Pengawas internal tujuannya pembinaan, sedangkan pengawas eksternal tujuannya penegakan kode etik. Sehingga, kalau ada hakim dipanggil oleh MA, bisa juga dipanggil oleh KY.

 

“Kalau sekarang kan tidak begitu, MA cepat-cepatan memproses hakim nakal. Padahal, kalau diinternal sudah diperiksa, harusnya di eksternal boleh juga dong diperiksa,” ujarnya.

 

Kedua, menghadirkan Mahkamah Yudisial dengan tidak perlu mengubah konstitusi, tetapi dari amanat undang-undang. Menurut Refly, DPR tidak susah untuk membuat aturan seperti itu. Bila ada Mahkamah Yudisial, kata Refly, maka area authority penanganan mengadili kode etiknya tidak hanya MA, tetapi juga hasil pekerjaan Kompolnas, Komjak termasuk Dewas KPK.

Tags:

Berita Terkait