USU Kukuhkan Dua Guru Besar Ilmu Hukum
Rechtsschool:

USU Kukuhkan Dua Guru Besar Ilmu Hukum

Mengangkat isu keselamatan penerbangan dan politik pluralisme hukum pidana.

MYS
Bacaan 2 Menit
Kampus FH USU. Foto: usu.ac.id
Kampus FH USU. Foto: usu.ac.id
Di awal pekan ini, Universitas Sumatera Utara Medan, mengukuhkan tiga orang guru besar baru, dua diantaranya dari Fakultas Hukum. Rektor USU, Prof. Runtung, memimpin langsung upacara pengukuhan di Gelanggang Mahasiswa kampus USU Padang Bulan, Senin (15/2).

Kedua Guru Besar ilmu hukum yang baru dikukuhkan adalah Hasim Purba dan Madiasa Ablisar. Hasim Purba dikukuhkan sebagai guru besar tetap dalam bidang hukum keperdataan/hukum dagang. Dosen kelahiran 3 Maret 1966 ini menyampaikan pidato ‘Mewujudkan Keselamatan Penerbangan dengan Membangun Kesadaran Hukum bagi Stakeholders Melalui Penerapan Safety Culture’.

Dalam pidato pengukuhannya, Hasim menyampaikan pentingnya transportasi udara masa kini untuk menopang berbagai kebutuhan. Seiring dengan urgensi itu, timbul pula resiko penerbangan yang berimplikasi hukum. Selain resiko kecelakaan, kerugian sering timbul akibat kelalaian para pemangku kepentingan. Pencurian bagasi, misalnya.

Indonesia adalah salah satu dari 190 negara yang telah mengikatkan diri pada Convention on International Civil Aviation, dikenal Konvensi Chicago 1944. Untuk menopang prinsip-prinsip kesalamatan penerbangan, Indonesia menggunakan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang ditindaklanjuti pula dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 21 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Penerbangan. Ada Peraturan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil.

Menurut Prof. Hasim Purba, peraturan-peraturan tersebut belum bisa menjamin keselamatan penerbangan. Penegakan regulasi harus ditopang oleh budaya para pemangku kepentingan. “Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan ialah dengan menerapkan safety culture,” ujarnya.

Maskapai penerbangan, produsen pesawat udara, pengelola bandar udara, serta pilot dan awak pesawat udara adalah pihak-pihak berkepentingan yang perlu meneguhkan budaya keselamatan penerbangan tersebut. Para pemangku kepentingan itu harus sadar hukum, dalam arti ada resiko hukum yang timbul jika terjadi insiden baik disebabkan human error maupun kesalahan teknis. Prof. Hasim menegaskan tingkat kesadaran hukum yang rendah menjadi salah satu masalah kompleks dalam industri penerbangan di Tanah Air.

Salah satu yang terlupakan adalah pemenuhan hak-hak penumpang selaku konsumen. Tidak mengherankan jika kemudian muncul gugatan-gugatan penumpang terhadap maskapai penerbangan. Meskipun demikian, melihat perkembangan regulasi yang dibuat, Prof. Hasim yakin sudah ada perbaikan. Misalnya, pengaturan kewajiban pengangkut kepada para penumpang akibat keterlambatan, delay, atau kecelakaan. “Hak-hak penumpang pesawat udara sudah semakin diperhatikan,” kata ayah lima orang anak itu.

Madiasi Ablisar, kelahiran Takengon Aceh 8 April 1961 menyampaikan pidato pengukuhan ‘Politik Pluralisme Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia’. Madiasa adalah salah seorang akademisi pidana yang menekuni qanun jinayat yang diberlakukan di Aceh.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Madiasa mengatakan pengakuan berlakunya hukum adat belum diiringi dengan pengakuan peradilan adat kecuali untuk Aceh dan Papua. Peradilan adat telah dihapuskan lewat Undang-Undang Daurat No. 1 Tahun 1951. Menurut dia, penyelesaian pelanggaran pidana adat tidak tepat dilakukan oleh pengadilan negara, meskipun pengadilan negara menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat.
Tags:

Berita Terkait