Urgensi Perma Pelaksanaan ‘Fiktif Positif’ dalam PTUN
Utama

Urgensi Perma Pelaksanaan ‘Fiktif Positif’ dalam PTUN

MA berharap Perma permohonan keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintah ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan cita-cita pembuat UU (Administrasi Pemerintahan).

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA (Perma) No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah. Beleid ini diteken Ketua MA M. Hatta Ali tanggal 7 Desember 2017 sebagai pelaksanaan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.  

 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan terbitnya Perma ini sebagai pelaksanaan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini menerapkan asas ‘Fiktif Positif’ terkait keputusan atau tindakan pejabat pemerintah dalam rangka pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan permohonan (masyarakat) yang tidak ditindaklanjuti oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan keputusan dan/atau tindakan, dianggap dikabulkan secara hukum (fiktif positif). Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah pengadilan yang berwenang memutuskan permohonan semacam ini.

 

Intinya, Perma ini mengatur proses permohonan atas dasar pelaksanaan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan yang diajukan ke PTUN. Mulai dari registrasi perkara, penjadwalan sidang, materi permohonan, tata cara pengajuan permohonan, tenggang waktu pengajuan permohon ke pengadilan (PTUN), pemeriksaan persidangan, pembuktian, dan putusan pengadilan.

 

Abdullah menerangkan terbitnya Perma ini untuk mengatasi perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara hakim PTUN ketika mengadili permohonan yang tidak mendapatkan keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan yang putusannya bersifat final and binding. Sebab, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN menyebut jika pejabat pemerintah (tata usaha negara) tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu yang ditentukan UU sektor terkait telah lewat. Maka, pejabat pemerintah yang bersangkutan dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan.  

 

“Jadi, terbitnya Perma ini intinya untuk menyeragamkan penerapan hukum formil (hukum acara) ketika mengadili perkara permohonan tindakan/keputusan pejabat pemerintah di PTUN. Prinsip fiktif negatif (yang diatur dalam UU PTUN) tidak memberi kepuasan publik. Karena itu, lahirlah ‘fiktif positif’ yang juga diatur Perma ini,” kata dia.

 

Abdullah berharap Perma permohonan keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintah ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan cita-cita pembuat UU (Administrasi Pemerintahan). “Yang menjadi catatan pula, Perma ini akan berakhir manakala RUU PTUN yang telah disinkronkan dengan UU No. 30 Tahun 2014 telah diundangkan oleh pembuat UU,” katanya. (Baca juga: Tiga Tahun UU Administrasi Pemerintahan)

 

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menjelaskan fiktif negatif ialah apabila ada permohonan (perizinan) kepada pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan sebuah keputusan atau tindakan, tetapi pejabat pemerintah yang bersangkutan hanya diam saja, maka dianggap permohonan itu ditolak. “Ini asas (fiktif negatif) yang dianut UU PTUN,” kata yang dihubungi Hukumonline.  

 

Sementara asas/prinsip “fiktif positif” yang termuat dalam UU Administrasi Pemerintahan, Arsil menjelaskan asas itu kebalikan dari prinsip fiktif negatif. Misalnya, apabila ada pemohon mengajukan permohonan (perizinan) untuk melakukan tindakan atau keputusan kepada pejabat pemerintah. Lalu, pejabat pemerintah yang bersangkutan hanya diam tidak melakukan tindakan apapun. Maka, permohonan itu dianggap diterima atau dikabulkan.

 

“Tetapi, dia harus mendapatkan penetapan dari PTUN terlebih dahulu. Dan dia harus membuktikan apa yang dimohonkannya itu di PTUN. Untuk itu, mengapa proses ini perlu diatur dalam Perma,” katanya. (Baca juga: Apakah Sikap Diam Pejabat TUN Berarti Setuju?)

 

Salah satu contoh perkara menggunakan prinsip “fiktif positif” terjadi dalam kasus permohonan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. PTUN Padang telah mengabulkan gugatan LBH Padang terhadap Gubernur Sumatera Barat. Dalam putusan yang dibacakan 20 Oktober 2017 lalu, majelis hakim mengabulkan argumentasi fiktif positif yang digunakan pemohon berkenaan dengan pencabutan izin-izin pertambangan di Sumatera Barat.

 

Awalnya, LBH Padang mengirimkan surat tertulis berisi permintaan agar gubernur menerbitkan keputusan mencabut 26 izin usaha pertambangan (IUP) yang masih aktif atau yang belum habis masa berlakunya. Sebab, pemberian IUP itu tidak sesuai peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan. Dalam gugatannya, LBH meminta Gubernur Sumatera Barat mencabut 26 izin usaha pertambangan (IUP) tersebut. Baca Juga: Awas ‘Jebakan’ Penyalahgunaan Wewenang dalam Penerbitan Izin Pertambangan  

 

Putusan majelis hakim PTUN yang terdiri dari Harisman, Zabdi Palangan, M Afif ini, mengakomodasi prinsip fiktif positif dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan prinsip ini, pejabat tata usaha negara yang tak merespons permohonan warga atau badan hukum perdata berarti pejabat bersangkutan menyetujui/mengabulkan permohonan itu. Namun, permohonan ini mesti dimohonkan kembali ke PTUN untuk mendapatkan putusan/penetapan. (Baca juga: Gunakan Dalil Fiktif Positif, LBH Padang Gugat Gubernur).

Tags:

Berita Terkait