Urgensi Perlindungan Data Pribadi Konsumen di Sektor E-Commerce
Perlindungan Konsumen 2020

Urgensi Perlindungan Data Pribadi Konsumen di Sektor E-Commerce

Pemerintah harus bisa memastikan bahwa data pribadi konsumen sektor e-commerce digunakan sesuai kepentingan perdagangan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sektor e-commerce atau belanja online memiliki jumlah konsumen yang cukup tinggi. Belanja dengan gaya milenial ini menyuguhkan kemudahan dalam bertransaksi. Namun demikian, belanja online memiliki tingkat risiko yang cukup besar, mulai dari penipuan, barang terlambat atau bahkan tidak sampai, barang tidak sesuai dengan pesanan, hingga penyelewengan data pribadi.

 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), belanja online masuk ke dalam lima besar sektor yang banyak dilaporkan oleh konsumen. Urutan pertama masih diduduki oleh perbankan, kedua adalah pinjaman online atau fintech, di tempat ketiga ada perumahan, keempat ada belanja online dan kelima adalah leasing.

 

Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi mengatakan bahwa perlindungan konsumen pada lima sektor tersebut dinilai masih sangat minim. Apalagai dengan kemajuan teknologi, maka bentuk perlindungan konsumen pun harusnya perlu diperluas, salah satunya dengan mengkategorikan nomor ponsel sebagai data pribadi yang wajib dilindungi.

 

Hukumonline.com

Sumber: YLKI

 

Belanja online (e-commerce) misalnya. Pada tiap-tiap platform ataupun jual beli online yang tersedia melalui media sosial, nomor ponsel menjadi hal utama yang wajib diserahkan oleh konsumen kepada pihak penjual. Padahal, kata Sularsi, kecanggihan teknologi membuat modus kejahatan semakin beragam cukup dengan menggunakan nomor ponsel saja.

 

(Baca: Meneropong Perlindungan Konsumen Jasa Finansial di Tahun Tikus Logam)

 

Maka atas dasar itu pula dia menilai bahwa keberadaan UU Perlindungan Data Pribadi sudah sangat darurat untuk diterbitkan. “Betapa sangat penting dan mendasarnya regulasi untuk perlindungan data pribadi karena semua bermuara pada data pribadi khususnya transaksi online,” katanya saat diawawancara oleh Hukumonline beberapa saat lalu.

 

Untuk mengurangi potensi kejahatan di sektor belanja online, Sularsi menilai perlu adanya self regulation pada tiap-tiap perusahaan e-commerce demi kepentingan kedua belah pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha. Adapun tujuan self regulation ini adalah sebagai jaminan dari pelaku usaha kepada konsumen untuk melindungi data pribadi.

 

“Jadi ada suatu jaminan di situ, ada term of condition untuk proteksi data, sehingga setiap konsumen yang melakukan transaksi melalui e-commere atau belanja online harus dipastikan ada atau tidak jaminan bahwa data yang diberikan konsumen itu dilindungi,” jelas Sularsi,

 

(Baca: Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen)

 

Selain terkait data pribadi, beberapa pengaduan yang masuk ke YLKI adalah seputar barang yang tidak sampai, barang tidak sesuai pesanan, ataupun barang yang terlambat datang. Namun dari beberapa persoalan di atas, keterlibatan jasa logistik dalam pengiriman barang juga harus diperhatikan.

 

Pasalnya potensi kejahatan pada jasa pengiriman barang bisa saja terjadi lewat skimming data dan seolah-olah barang sudah dinyatakan sampai kepada konsumen. Sehingga diperlukan kepastian siapa pihak yang bertanggung jawab atas pengalihan data dari pelaku e-commerce kepada pihak jasa logistik.

 

Meski demikian, Sularsi menekankan bahwa kejahatan yang bersumber dari bocornya data pribadi dapat dihindari oleh konsumen. Caranya dengan berhati-hati dalam memberikan data dan menerima telepon dari sumber yang tidak dikenal, apalagi terkait dengan data-data keuangan pribadi. Pada posisi ini pula, pemerintah harus memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya perlindungan data pribadi.

 

Belum lama ini pemerintah menerbitkan satu regulasi tentang mekanisme usaha e-commerce yakni PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Adapun salah satu poin yang diatur dalam beleid ini adalah mengenai perlindungan data pribadi yang tercantum di dalam pasal 58 dan pasal 59.

 

Hukumonline.com

 

Advokat yang fokus pada perlindungan konsumen, David ML Tobing, berpendapat PP PMSE sudah cukup relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Namun, David menilai bahwa pelanggaran data pribadi di sektor e-commerce saat ini disebabkan oleh akses data yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kepentingan belanja online dan hal itu diatur dalam PP PMSE.

 

“Yang paling banyak pelanggaran di perlindungan data pribadi itu ada di media dengan menggunakan platform. Karena pada waktu install aplikasi kebanyakan platform itu meminta akses data yang berlebihan padahal seharusnya berdasarkan PP e-commerce cukup yang relevan saja,” katanya kepada hukumonline.

 

Kondisi ini, lanjut David, yang membuat penerbitan UU Perlindungan Data Pribadi menjadi sangat urgent. Mengingat belum disahkannya UU tersebut, maka David mengatakan bahwa pemerintah bisa mengambil tindakan dengan memperketat syarat-syarat yang terdapat di aplikasi belanja online guna meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap data pribadi.

 

“Memang diwajibkan bagi si pengambil data untuk menjaga dan merahasiakan data pribadi, nah tetapi beberapa kasus Facebook pun pernah kecolongan, jadi ini semua potensial bisa terjadi. Maka untuk itu pemerintah harus lebih ketat melihat syarat-syarat yang ada di aplikasi-aplikasi belanja online. Itu pertama untuk menghindari, jadi aplikasi tidak boleh meminta data yang terlalu luas, tapi cukup data yang relevan,” imbuhnya.

 

Yang menjadi concern saat ini, lanjutnya, pengelolaan data harus dipastikan hanya digunakan untuk kepentingan transaksi. Data yang diminta juga harus relevan. Namun pengawasan semacam ini sedikit sulit untuk dilakukan oleh pemerintah. Dia mempertanyakan perangkat apa yang ada di pemerintah untuk mengawasi pengolahan data pribadi itu.

 

“Sebenanrya peraturan pemerintah tentang e-commerce sudah sangat baik sebagai amanat dari UU Perdangangan dan memang sudah diatur bagaimana cara transaksi. Tapi yang saya lihat justru aturan ini masih terlalu mentolerir banyak pelanggaran karena berlakunya itu diberikan dalam jangka waktu penyesuaian dua tahun sehingga yang sudah berjalan sekarang potensi pelangggaran banyak sekali. Itu yang disayangkan,” jelasnya.

 

Senada dengan Sularsi, David mengatakan bahwa pemahaman konsumen mengenai transaksi belanja online menjadi hal penting. Dia juga mengingatkan agar konsumen tidak gampang tergiur dengan harga-harga barang yang dijual dengan harga dibawah pasaran atau murah.

 

Sanksi

Terkait sanksi David mengatakan kendati tak disebutkan adanya sanksi pidana dalam regulasi soal e-commerce, namun hal itu tidak melepaskan pasal pidana yang terdapat di dalam KUHP. Jika pelaku e-commerce melakukan penipuan dalam proses jual beli, maka pasal pidana penipuan bisa digunakan untuk menjerat pelaku.

 

“Kalau sudah menyangkut pidana, tidak ada pasal pidana misalnya di aturan e-commerce, kalau sudah menyangkut pidana ya bisa dijerat dengan KUHP. Jadi tetap masih bisa dipidana,” jelasnya.

 

Hukumonline.com

 

Bagi konsumen, ketika tertipu melakukan belanja secara online dan bingung mau meminta pertanggungjawabannya, ternyata ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa menjadi rujukan.

 

Pertama, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UU PK). Pasal 4 poin (c) UU ini menegaskan, Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sedangkan poin (h) menyatakan, Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

 

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha juga diatur di undang-undang ini sesuai Pasal 7 poin(b) dan (g) terkait kewajiban penjual. Pasal 7 poin (b) menyatakan, Pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

 

Sedangkan poin (g) menyatakan, Pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

 

Apabila produsen atau pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya, pelaku usaha ini bisa dipidana berdasarkan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Pasal itu menyatakan, Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

Kedua, pada tahun 2008 pemerintah telah mengeluarkan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronok (ITE). Kemudian UU ITE mengalami revisi menjadi UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 28 Ayat (1) menyatakan, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

 

Kemudian dijelaskan juga tentang sanksinya dalam Pasal 45 Ayat (2) UU ITE. Pasal itu menyatakan, Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Ketiga, peraturan tentang perlindungan konsumen terkait barang tidak sesuai dengan yang ditawarkan juga diatur dalam (KUHP). Pasal yang mengatur masalah ini adalah Pasal 378 KUHP yang membahas tentang penipuan.

 

Pasal itu menyatakan, Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan oran lain untuk menyerahkan suatu benda kepadanya, ataupun supaya member hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

 

Tags:

Berita Terkait