Urgensi Pengadilan Pertanahan Menurut Kajian MA
Penelitian MA 2015:

Urgensi Pengadilan Pertanahan Menurut Kajian MA

Gagasan pengadilan khusus pertanahan berkembang di lingkungan akademik. Masuk dalam RUU. Tapi insane pengadilan cenderung menolak.

MYS
Bacaan 2 Menit
Pengadaan tanah untuk pembangunan salah satu yang sering memantik konflik pertanahan. Foto: SGP
Pengadaan tanah untuk pembangunan salah satu yang sering memantik konflik pertanahan. Foto: SGP
Sengketa atau konflik pertanahan, apalagi kalau sudah sampai menjadi perkara di pengadilan, merupakan masalah kompleks dan laten yang harus diselesaikan. Eskalasi konflik semakin meningkat seiring semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan tanah, baik yang akan dijadikan lokasi pemukiman maupun untuk lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, atau keperluan lain. Jika demikian halnya, apakah sudah sedemikian penting membentuk pengadilan pertanahan di Indonesia?

Pertanyaan sederhana inilah yang coba dijawab tim peneliti Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung tahun 2015 lalu. Hasilnya kini bisa dibaca publik dan layak diketahui. Penelitian yang dikoordinasi Hery Abdul Sasmito ini berangkat dari diskursus mengenai penting tidaknya pengadilan pertanahan, yang muncul saat DPR dan Pemerintah membahas RUU Pertanahan.

Sebelum penelitian ini sebenarnya sudah ada sejumlah penelitian serupa, baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan nonakademis. Sugianto (1997), BF Sihombing dan Embun Sari (2005), dan Elza Syarief (2009) meneliti sengketa tanah yang masuk pengadilan di Jakarta. Badan Pertanahan Nasional juga mengumpulkan data perkara untuk seluruh Indonesia. Data laporan Mahkamah Agung juga menunjukkan perkara pertanahan yang masuk di peradilan umum, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Peradilan Agama. Nyaris semua menunjukkan data kenaikan sengketa pertanahan.

Berdasarkan penelitian Ratna Harmani (2009), penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan masih sering menghadapi kendala seperti sulitnya mengeksekusi putusan. Belum lagi tumpang tindihnya putusan pengadilan untuk objek yang sama. Ini tak lepas dari dimensi sengketa tanah yang bisa bersinggungan dengan hukum publik dan bisa juga dengan hukum privat. Coba saja lihat tiga aspek masalah tanah yang umumnya masuk ke pengadilan.

Pertama, masalah perdata pertanahan yang menekankan pada aspek keperdataan seperti jual beli, waris, sewa menyewa, atau pembebanan hak tanggungan. Kedua, masalah pidana pertanahan seperti penyerobotan tanah, penipuan, penggarapan illegal, atau pemalsuan akta otentik tanah. Ketiga, masalah pertanahan yang terkait dengan aspek administrative atau keputusan pejabat pemerintahan seperti tumpang tindih sertifikat, pemberian hak atas tanah oleh negara, atau pencabutan hak.

Selain melalui pengadilan, masalah pertanahan juga bisa diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian di luar pengadilan bahkan bisa lebih harmonis dan win win solution. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebenarnya punya peran penting dalam konteks penyelesaian di luar pengadilan.

Lantas, bagaimana urgensi pengadilan pertanahan? Menurut para peneliti gagasan membentuk pengadilan khusus pertanahan sudah lama muncul. Peneliti mengutip tulisan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Arie Sukanti Hutagalung. Prof. Arie pernah menyebutkan secara teoritis pengadilan pertanahan dapat saja dilakukan di bawah peradilan umum, karena UU Peradilan Umum memungkinkan pembentukan peradilan khusus. Bahkan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Maria SW Sumardjono, seperti dikutip peneliti, menyebut ide pengadilan pertanahan pernah muncul pada 1995. Cuma, kata Prof. Maria, perlu cermat dan hati-hati mempersiapkannya. Salah satunya, kasus tanah apa saja yang menjadi wewenang pengadilan pertanahan. Rekomendasi penelitian Elza Syarief juga adalah pembentukan pengadilan pertanahan.

Gagasan pengadilan pertanahan akhirnya masuk ke dalam RUU Pertanahan yang sudah sempat dibahas Pemerintah dengan DPR/DPD. DPD bahkan menyusun sebuah RUU khusus tentang Pengadilan Agraria. Dalam RUU ini disebutkan Pengadilan Agraria adalah pengadilan khusus yang dibentuk di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara sumber daya agraria. Lalu, apa yang dimaksud dengan perkara sumber daya agrarian? RUU menyebutnya sebagai perkara perdata yang timbul dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang tanah, hutan, tambang, air, pesisir, dan kelautan.

Pada 27 Agustus 2015, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) sudah pernah menyatakan penolakan atas pengadilan pertanahan dengan alasan kesulitan mencari hakim yang mumpuni di bidang pertanahan. Sebelumnya, dalam konsultasi DPR dan MA pada 2 Juli 2014 terkait RUU Pertanahan, Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha menyampaikan sikap tegas bahwa MA tidak setuju dengan konsep pengadilan khusus pertanahan. MA menilai sumber masalah sengketa pertanahan bukan di pengadilan melainkan di BPN. Meskipun ada hakim yang mendukung, secara umum kalangan peradilan menolak kehadiran pengadilan khusus pertanahan. Di kalangan akademis, gagasan itu juga masih pro kontra. Salah satu yang memantik perdebatan adalah pembatasan yurisdiksi mengingat ada titik singgung antara peradilan umum, peradilan agama, dan PTUN dalam kasus-kasus pertanahan.

Itu pula sebabnya tim peneliti menyimpulkan pembentukan peradilan khusus itu belum diperlukan. Belajar dari pengadilan khusus yang ada ternyata tidak semua memberikan manfaat berarti. Kalaupun sengketa tanah hanya ditarik ke masalah perdata saja, maka sama saja menderogasi dimensi hukum publik pertanahan.

Selain itu tim peneliti mengungkapkan RUU Pertanahan yang memuat pengadilan khusus itu masih mengandung kelemahan. Misalnya kedudukan pengadilan dan hukum acarnya. Menurut tim peneliti mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang ada selama ini tetap bisa dilaksanakan dengan sejumlah perbaikan. Khusus untuk perkara yang timbul karena konflik pertanahan yang massif dan bersampak luas lebih pas diselesaikan melalui Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.

Meskipun MA sudah menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, masih tetap diperlukan penegasan batas kompetensi penanganan kasus tanah. Yang bisa dilihat sebagai acuan adalah sifat sertifikat tanah, apakah keputusan deklaratif atau konstitutif. Peneliti juga menilai penting dikaji konsep peradilan koneksitas dalam penanganan sengketa pertanahan. Apalagi mengingat hukum pertanahan begitu kompleks dan plural. Hakim-hakim yang menangani kasus tanah pun seyogianya memiliki sertifikasi hakim pertanahan.
Tags:

Berita Terkait