Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia
Kolom

Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Perlu adanya kerangka hukum yang komprehensif dalam menangani pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.

Bacaan 8 Menit

Sama halnya dengan Pendidikan anak-anak pengungsi. Di Community House Medan, pengungsi anak tetap dapat sekolah di sekolah negeri setempat, walaupun tak mendapat ijazah. Sebaliknya, di tempat lain akses untuk dapat sekolah bagi anak-anak pengungsi adalah amat sulit. Tak heran, di Cisarua maupun di Jakarta ada inisiatif untuk menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak pengungsi yang diselenggarakan oleh internal para pengungsi sendiri dan untuk anak-anak mereka sendiri.

Siapa yang Harus Menangani Pengungsi?

Ketiadaan kerangka hukum yang komprehensif menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebetulnya bertanggung jawab atas penanganan pengungsi di Indonesia. Pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Apabila pemerintah pusat, instansi yang mana? Lalu anggaran apa yang tersedia dan dapat digunakan?

Pemandangan pengungsi (kebanyakan dari Afghanistan) yang melakukan aksi massa di beberapa kota di Indonesia menuntut kepastian status mereka, terus terjadi. Hampir semua frustasi dan depresi karena terlalu lama berada di Indonesia tanpa kepastian.

Sebagai contoh adalah di Jakarta. Sejak Maret 2018, banyak pengungsi yang tertahan di Jakarta hingga menduduki trotoar sekitar jalan Kebon Sirih. Kebingungan terjadi. Penanganan mereka menjadi tanggungjawab pemerintah pusat atau Pemda DKI. Ke mana Pemda dapat menampung dan bagaimana urusan logistiknya?

Kendala lain adalah tantangan sosial dan budaya. Masih banyak masyarakat Indonesia, termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, yang belum memahami bahwa pengungsi dan pencari suaka berbeda dengan migran ekonomi. Penduduk setempat adakalanya menolak dan iri karena pengungsi menerima jatah hidup bulanan dari lembaga internasional. Padahal, penduduk setempat sendiri terkadang sangat miskin.

Di sisi lain, para pengungsi dan pencari suaka tersebut tidak dapat dipulangkan secara paksa ketika mereka menghadapi risiko nyata penganiayaan, penyiksaan (persecution) atau bahaya serius lainnya di negerinya. Ada Prinsip non-refoulement dalam hukum pengungsi internasional. Suatu prinsip yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan mengikat semua negara, terlepas dari apakah mereka merupakan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 atau Protokol 1967-nya.

Perlunya Menyikapi Kekosongan Hukum

Tidak ada perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang pengungsi atau pencari suaka secara komprehensif. Sebelum lahirnya Perpres No. 125/2016 ihwal pengungsi hanya disinggung sedikit dalam UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Bahkan, kata-kata 'pengungsi' dan 'pencari suaka' tidak muncul dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait