Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru Terbarukan Dipertanyakan
Berita

Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru Terbarukan Dipertanyakan

Belum terbitnya PP Energi Baru Terbarukan sebagaimana diamanatkan dalam UU Energi menjadi salah satu permasalahan yang harus diselesaikan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Pemerintah bersama DPR dan DPD RI sepakat mendorong pembentukan Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Pada Sidang Tahunan MPR 2019, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya mengapresiasi respons cepat DPD dalam menyikapi tantangan mendesak yang dihadapi oleh daerah, salah satunya adalah terkait energi terbarukan. Respons cepat ini memang telah dilakukan oleh DPD dengan menginisiasi adanya RUU EBT yang saat ini tengah dibahas di Komisi VII DPR.

 

Meski demikian pembentukan RUU EBT tersebut dianggap belum dikaji secara mendalam antara pemerintah bersama legislatif. Meski menanggapi positif peningkatan produksi EBT, peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, menilai perlu kajian mendalam apakah adanya RUU ini dapat menjawab kebutuhan tersebut. Grita mengatakan bahwa dalam naskah akademik RUU EBT dijelaskan bahwa UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi, saat ini belum cukup mengakomodir tentang energi baru terbarukan karena pengaturan EBT masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Menurutnya, salah satu permasalahan yang mengakibatkan kondisi ini terjadi adalah karena Pemerintah tidak kunjung menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Energi Baru dan Terbarukan, sebagaimana diamanatkan dalam UU Energi.

 

Pada dasarnya dalam pembentukan PP ini telah masuk dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi 2015-2019, namun hingga saat ini peraturan tersebut belum terbit.

 

Berdasarkan Renstra tersebut, kata Grita, seharusnya PP Energi Baru dan Terbarukan dapat dijadikan rujukan yang lebih detail terkait pengelolaan energi baru dan terbarukan meliputi pengusaaan sumber daya, penyediaan dan pemanfaatan, pengusahaan, hak dan kewajiban, kemudahan dan insentif, harga energi, penelitian dan pengembangan, hingga pembinaan dan pengawasan.

 

“Akibat ketiadaan Peraturan Pemerintah ini, selama ini terkait penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan secara umum, insentif hingga harga diatur dalam level Peraturan Menteri yang kerap dengan cepat berubah, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Grita, Selasa (20/08).

 

(Baca: Regulasi Labil Ganggu Iklim Investasi di Sektor EBT)

 

Deputi Direktur Icel, Raynaldo Sembiring, menambahkan selain terkait pengaturan yang masih tersebar tersebut, ada ketidakjelasan dalam tujuan penyusunan undang-undang dalam naskah akademik RUU EBT.

 

Beberapa permasalahan yang dijabarkan dalam naskah akademik dan dijadikan alasan dalam penyusunan RUU EBT adalah masalah implementatif yang pada dasarnya sudah diatur dalam UU yang telah ada, yakni UU Energi dan UU Ketenagalistrikan.

 

Permasalahan pengelolaan energi terbarukan yang dianggap masih belum optimal meliputi pengawasan jalannya proyek dan evaluasi proyek yang tidak sesuai perencanaan, inventarisasi data terkait dengan potensi daerah, belum optimalnya regulasi yang ada untuk menciptakan iklim investasi energi terbarukan yang kondusif bagi investor, termasuk terkait harga dan insentif, hingga terkait tumpang tindih peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan EBT ini.

 

“Pada dasarnya, perlu adanya kajian mendalam apakah seluruh jawaban atas permasalahan ini adalah terbitnya UU baru, atau perlunya peraturan implementatif dari UU yang sudah ada atau bahkan cukup dengan merevisi UU yang sudah ada. Sayangnya kajian terkait hal ini luput dari naskah akademis,” keluh Raynaldo. 

 

Pada akhirnya, lanjut Raynaldo, adanya reformasi regulasi untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia di Indonesia memang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi. Penyusunan regulasi yang tepat sasaran adalah kunci penting untuk menjawab hal ini.

 

“Untuk itu, kajian secara mendalam perlu dilakukan agar RUU EBT dapat menjadi regulasi yang tepat sasaran dalam menjawab permasalahan yang ada,” pungkasnya.  

 

Seperti diketahui, pemerintah berkomitmen mengembangkan EBT sebagai pengganti energi fosil yang makin lama makin menipis persediaan dan cadangannya. “Untuk EBT ini sudah jelas strategi kami ke depan, yaitu harus memperbanyak EBT,” kata Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Archandra Tahar, seperti dilansir Antara, Rabu (14/8) lalu.

 

Ia mengatakan saat ini Indonesia bukan lagi dalam posisi untuk memilih apakah akan memakai energi baru terbarukan atau tidak. Menurutnya, penggunaan energi baru terbarukan merupakan sebuah keharusan. "Karena fosil makin lama makin berkurang dan suatu saat mungkin kita tidak memproduksi lagi. Untuk itu kita berusaha memakai EBT," katanya. 

 

Pihaknya menargetkan penggunaannya sudah mencapai 23 persen pada tahun 2025. Sedangkan saat ini, dikatakannya, untuk pembangkit EBT sudah mencapai 12 persen.

 

Tags:

Berita Terkait